Senin, 05 September 2011

Logika Kesejahteraan atau Logika Ketimpangan?

Bertemu kembali dengan beberapa teman lama selalu menghadirkan nostalgia dan berita sekaligus. Perihal kabar mereka dan biasanya yang lebih seru: berita perkembangan hal yang dulu pernah kita lewati bersama. Sekolah. Meski tak begitu sering, saya beberapa kali sempat mampir ke SMA tempat saya pernah menuntut (pengadilan kali?) ilmu. Tak lain dan tak bukan, panggilan organisasi yang membuat saya kembali. Karena beberapa momen kembalinya saya ke sekolah itulah yang membuat diri ini ‘sedikit’ mengetahui berita perkembangan di sekolah. Dan obrolan dengan teman-teman se-SMA pada akhirnya bertemu dalam satu kesan yang sama: Sekolah semakin mahal.

Dalam hati, respon pertama pasti ucapan syukur, ketika mengetahui besaran biaya bulanan di SMA saya tersebut. Bersyukur karena saya tidak mengalami sekolah dengan besaran biaya sebesar itu. Akan tetapi, di sisi lain, terbesit ‘sedikit’ rasa iba terhadap nasib adik-adik saya itu. Bagaimana yah nasib mereka yang tak mampu? Apakah kini SMA saya itu sebagian besar telah diisi oleh mereka dari kalangan mampu? Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk diselingi dengan fakta mulai maraknya proyek-proyek mercesuar yang jelas akan semakin menyedot dana.

Yang membuat saya tak habis pikir adalah ingatan saya yang mengatakan bahwa alokasi dana untuk pendidikan itu 20% dari APBN kita. Jumlah yang menurut saya luar biasa besar yang bahkan mungkin membuat bingung (kalau saya yang jadi mendiknas) perihal peruntukannya. Tidak cukupkah uang yang sebegitu banyaknya membuat biaya sekolah di SMA lebih murah atau setidaknya bertahan. Kesan yang nampak dari penglihatan sekilas saya tuh, biaya sekolah di SMA itu seperti mengikuti inflasi pasar saja tanpa ada pengendalian signifikan dari pemerintah.

Atau mungkin itu hanya karena SMA saya itu adalah SMA berlabel RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional)? Emangnya SMA lain yang tidak RSBI tidak mengalami nasib serupa? Entahlah, saya tak tahu. Saya belum tanya pada mereka.

Yang jelas, begitu mendengar mahalnya biaya sekolah di SMA saya itu, pikiran saya langsung mengabstraksikan bahwa ada logika kesejahteraan di sini. Mahalnya biaya atau harga sebagai efek dari inflasi di sisi lain sebenarnya pasti merupakan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Seperti pikir sekelabat kita yang mungkin begitu senang mendengar betapa besarnya pendapatan bekerja di negara maju.Tunggu dulu bung! Biaya hidup di sana pun sama tingginya. Jadi, dalam ekonomi itu, memang akan selalu ada keseimbangan dan saling menyeimbangkan. Kalau begitu, mahalnya biaya sekolah seharusnya kabar gembira dong?

Akan tetapi, seberapa besar masyarakat yang mengalami peningkatan pendapatan dan kesejahteraan. Saya pikir, data ini penting untuk menentukan apakah ini logika kesejahteraan atau justru logika ketimpangan. Kalau ternyata mahalnya biaya sekolah tidak diikuti dengan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan mayoritas masyarakat, maka fenomena ini tak lebih dari sekadar perubahan standar seleksi untuk menentukan siapa yang berhak mendapat pendidikan terbaik. Orang pintar atau orang kaya? Lebih dari itu, jika ternyata itu benar, masyarakat yang terkategori bawah akan kehilangan salah satu cara paling efektif dan rasional untuk mereka melakukan mobilisasi vertikal ke atas. Salam Kreatif - Kritis, Pratama

0 komentar:

Posting Komentar

Followers

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes