KOMPAS.com
- Ungkapan yang menyatakan ”ganti menteri, ganti kurikulum” tak
sepenuhnya salah. Belum semua sekolah menerapkan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan Tahun 2006, kini kurikulum sudah berganti lagi dengan
Kurikulum 2013.
Sebelumnya juga sudah ada Kurikulum 1984 yang menekankan Cara Belajar
Siswa Aktif (CBSA), Kurikulum 1994, dan Kurikulum 2004 yang dikenal
dengan nama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).
Pertanyaan yang kemudian muncul, kurikulum sering berganti, tetapi
mengapa cara mengajar guru di depan kelas tidak berubah? Guru tetap
sebagai pusat pembelajaran (teacher centered learning), sedangkan siswa
hanya pasif mendengarkan. Akhirnya, timbul kesan, perubahan kurikulum
menjadi sia-sia karena tidak diikuti perubahan metode pengajaran.
”Berdasarkan pengalaman itulah, dalam penerapan Kurikulum 2013, guru
mendapat pelatihan khusus,” kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Mohammad Nuh.
Perubahan kurikulum pun, menurut Nuh, bukan sesuatu yang ditabukan dan
dilarang. Justru kurikulum harus diubah sesuai kebutuhan dan
perkembangan zaman.
Perubahan kurikulum dilakukan karena Kurikulum 2006 dianggap masih
menimbulkan berbagai fenomena negatif, seperti beban siswa terlalu berat
karena terlalu banyak pelajaran serta kurang bermuatan karakter
sehingga memunculkan plagiarisme, kecurangan, perkelahian pelajar, dan
berbagai persoalan lain.
Diramu dengan tantangan masa depan, seperti tantangan globalisasi,
persoalan lingkungan hidup, perkembangan teknologi informasi, serta
kompetensi individu yang mampu berkomunikasi, berpikir jernih dan
kritis, serta kompetensi lain, jadilah Kurikulum 2013 yang akan
diterapkan secara bertahap di SD, SMP, dan SMA.
Sebelum diterapkan, rancangan kurikulum ini diuji publik untuk mendapat
masukan dan penyempurnaan. ”Semoga saja uji publik tersebut bukan
sekadar formalitas, melainkan betul-betul menyerap aspirasi yang
berkembang di masyarakat,” kata Itje Chodidjah, pelatih guru di sejumlah
sekolah.
Didiskusikan
Untuk menampung berbagai pikiran yang berkembang di masyarakat, harian
Kompas beberapa waktu lalu juga menyelenggarakan diskusi terbatas dengan
menghadirkan Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Musliar Kasim,
pelatih guru Henny Supolo Sitepu dari Yayasan Cahaya Guru, Ketua Umum
Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia S Hamid Hasan, serta Guru Besar
Matematika dan IPA Institut Teknologi Bandung Iwan Pranoto.
Dari hasil diskusi tersebut terungkap kekhawatiran, Kurikulum 2013 akan
bernasib sama dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya, yaitu bagus dalam
tataran konsep dan bahasa kurikulum sangat indah, tetapi sangat buruk
dalam penerapan. Ambil contoh Kurikulum 1984 yang mengharuskan siswa
aktif ataupun Kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi. Dengan kurikulum
itu, aktivitas belajar semestinya berpusat pada siswa.
”Kenyataannya, pola mengajar guru tidak berubah. Guru tetap memberikan
materi di depan kelas dan murid mendengarkan. Guru tidak bisa disalahkan
karena guru tidak pernah diberikan pelatihan,” kata Henny Supolo.
Menghadapi persoalan ini, menurut Wakil Mendikbud Musliar Kasim,
guru-guru akan dilatih sebelum Kurikulum 2013 diterapkan. Kemdikbud akan
memilih sekitar 40.000 guru terbaik sebagai pelatih inti atau master
trainer. Mereka selanjutnya melatih sekitar 350.000 guru selama enam
bulan.
Penerapan kurikulum pun tidak dilakukan sekaligus, tetapi dilakukan
secara bertahap agar tidak mengganggu pembelajaran. Pada tahun pertama,
misalnya, kurikulum akan diterapkan di kelas I dan IV SD, kelas VII SMP,
dan kelas X SMA. ”Jadi, dari sekitar 2,9 juta guru, tidak sekaligus
semua guru dilatih,” kata Mendikbud Mohammad Nuh.
Meski demikian, pelatihan ini tetap dikritik banyak kalangan. Misalnya,
tidak mudah mengubah kebiasaan guru yang selama ini menjadi ”sumber
kebenaran” dengan memberikan materi di depan kelas menjadi pendorong
siswa agar aktif, kreatif, dan memiliki semangat inovatif. Apalagi,
latar belakang pendidikan guru di Indonesia masih sangat tidak memadai.
Hanya 22,6 persen guru SD yang sarjana dan tidak sampai 28 persen guru
SMP yang sarjana. Itu pun rata-rata umurnya sudah di atas 40 tahun yang
tak terbiasa mendorong kreativitas siswa.
”Bagi kami, lebih baik penerapan Kurikulum 2013 ditunda,” kata Henny Supolo.
Persoalan yang mengemuka dalam Kurikulum 2013 adalah arah yang hendak
dicapai melalui kurikulum ini. Dalam kompetensi lulusan, misalnya,
diharapkan memiliki karakter mulia. ”Karakter mulia itu ukurannya apa?
Harus lebih jelas dan tegas sehingga semua pihak bisa mengukur apakah
kompetensi sudah tercapai atau belum,” kata Henny Supolo.