Selasa, 27 April 2010

3 Contoh Budi Pekerti


Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya bahwa pendidikan budi pekerti kini tengah didengungkan kembali. Semakin banyak masyarakat yang sadar dan tergerak untuk kembali pada karakter asli bangsa ini. Setelah membahas tentang implementasi dari pendidikan budi pekerti, kini saya ingin membahas contoh-contohnya. Dengan harapan, akan semakin banyak masyarakatnya yang sadar dan tergerakkan olehnya.

Contoh-contoh ini sering kita lihat sehari-hari. Bahkan kita pun mungkin pernah melakukannya. Entah disengaja atau karena tuntutan keadaan. Yang jelas, contoh-contoh ini adalah refleksi dari kehidupan kita.

Lalu... Apa sajakah contoh-contoh itu?

1. Terima kasih dan Sama-sama
Coba anda pikir, berapa jumlah orang yang telah membantu anda hari ini? Orang tua anda, abang angkot, petugas kebersihan, guru, teman, penjual makanan, tukang asongan, pengamen, dll. Banyak bukan? Lalu... Berapa terima kasih yang telah anda ucapkan? Saya rasa hanya sekian persen dari keseluruhan. Padahal ucapan terima kasih yang disertai senyum tulus adalah balas jasa terindah dan 'lebih berasa' dibandingkan uang dan materi lainnya.

Selain itu, kata terima kasih itu punya pasangan, ialah sama-sama. Jika kita sering ingin membalas orang yang berbuat jahat, mengapa kita tak membalas orang yang berbuat baik? Jangan sampai kata terimakasih yang telah orang lain ucapkan menguap begitu saja. Ikatlah kata itu di hati anda dengan sebuah balasan: sama-sama.

2. Maaf
Manusia adalah tempatnya salah. Karena itu, mengapa kita tak meminta maaf? Padahal kita disuruh untuk melupakan setiap kebaikan yang telah kita lakukan dan mengingat betul setiap kesalahan yang telah kita lakukakan. Tapi mengapa? justru kebalikannya adalah fakta yang ada.

Selain itu, saya juga sering melihat sebagian orang yang meminta maaf tanpa mengetahui kesalahan yang telah perbuat. seperti saat lebaran contohnya. Apakah ini akan berarti? Tidak! Kata maaf yang terlontar dari seorang yang tidak tahu apa kesalahannya hanyalah: hiasan bibir.

3. Meminta Izin
Pernahkan anda mendapat permintaan izin dari komputer untuk menjalankan sesuatu? Lihat! Komputer saja meminta izin. Mengapa kita tidak? Padahal izin adalah pintu masuk menuju kesepahaman bersama. Ya itulah yang harus kita lakukan untuk menghindari kesalahpahaman. Meminta izin juga bisa memupuk kepercayaan dan menghindari kecurigaan sosial.

Budi pekerti adalah sebuah bentuk penghargaan dan penghormatan kita terhadap orang lain. Bentuk dari kepercayaan adanya rasa saling membutuhkan dan dibutuhkan. Bentuk dari rasa syukur terhadap Allah SWT yang telah menciptakan dunia beserta isinya.

Budi pekerti sebagai sebuah karakter bangsa Indonesia mengajarkan kita untuk senantiasa berperilaku dengan hati dan perasaan. Berkesesuaian dengan perintah Tuhan. Jelas... Di sini kecerdasan emosi, spiritual, dan sosial saling bersinergi dalam karakter setiap diri, bangsa Indonesia.

Salam Kreatif - Kritis,
Pratama

Minggu, 25 April 2010

Implementasi Pendidikan Budi Pekerti di Indonesia


Pendidikan budi pekerti belakangan ini nampaknya kembali didengungkan. Melihat realitas masyarakat yang semakin minim etika akibat tergerus oleh arus westernisasi. Bahkan saya pun melihat di rencana strategis kemendiknas 2009-2014, hal ini sudah tercantum. Tapi mengapa, sebagai siswa saya belum melihat implementasinya di akar rumput atau setidaknya di tingkat menengah. Apakah benar, bangsa ini hanya bisa merencanakan tapi sulit merealisasikan?

Daripada memikirkan tentang hal itu, saya memilih untuk lebih fokus pada solusi. Bagaimana implementasi dari pendidikan budi pekerti itu? Apakah dibuat pelajaran khusus? Di masukkan dalam ekstrakulikuler? Atau yang lain?

Berdasarkan dari pengalaman saya, pelajaran yang berorientasi pada perilaku nampaknya sedikit kurang berhasil. Karena memang di sekolah, khususnya sekolah formal, pelajaran lebih ditekankan pada hal yang teoritis. Seperti pelajaran akhlak pada agama Islam, yaa begitu-begitu saja. Guru membahasnya di kelas, tapi toh siswa-siswanya tetap saja melakukan hal yang berlawan dari itu.

Menurut saya, pelajaran yang berorientasi pada perilaku haruslah masuk pada tatanan perilaku pula. Sehingga akan lebih tepat jika pelajaran budi pekerti masuk dalam setiap pelajaran yang diajarkan dan tercermin dari perilaku guru sebagai tauladan. Selain itu, seruan-seruan etika juga bisa lebih masif jika dipromosikan oleh setiap guru mata pelajaran.

Jadi, pelajaran budi pekerti tidak hanya dibebankan pada beberapa guru, tetapi semua guru adalah pengajar budi pekerti. Mereka bertutur dengan santun, memberi nasihat dengan bijak, mengajar dengan kasih sayang, dll. Selain itu, guru harus mulai meninggalkan gengsi feodalistik yang memberi jarak antara mereka dan siswa. Mereka harus berusaha untuk menjadi 'kakak' yang demokratis bagi siswa tapi tetap tegas terhadap prinsip.

Dalam tatanan siswa, implementasi dari pendidikan budi pekerti adalah proaktif mencari pemahaman tentang budi pekerti, menimbang setiap nasihat, dan meyakini budi pekerti sebagai sebuah prinsip dan karakteri diri.

Indonesia adalah bangsa yang mengedepankan budi pekerti dan etika. Mari memperbaiki keadaan yang sekarang ini dengan terus beraksi dan berkreasi, demi perubahan yang lebih baik.

Salam Kreatif - Kritis,
Pratama

Sabtu, 24 April 2010

Menulis dengan Hati


Seringkali, kita merasa tuliskan sering kaku dan tidak bernyawa. Tidak apa-apa, saya pun juga terkadang begitu. Ini adalah proses bagi kematangan seorang penulis. Hal ini terjadi karena kita memang tidak memberi nyawa pada tulisan kita tersebut. Lalu... Muncul pertanyaan. Nyawa seperti apa yang dimaksud dalam tulisan? Bagaimana cara memberika nyawa pada tulisan?

Coba saya tanya dulu. Apakah anda menulis sekaligus mengedit? Atau menulis dulu baru mengedit? Jika jawaban anda adalah pada pertanyaan pertama, inilah salah satu penyebabnya. Berbagai pakar menulis mengatakan bahwa menulis sebaiknya tidak disandingkan dengan mengedit. Karena ada dua karakter berbeda dari keduanya. Saat kita menulis, otak kanan yang kreatif bekerja, tetapi ketika mengedit otak kiri yang kritis bekerja. Ketika mereka bekerja bersamaan, maka ketidakmaksimalanlah yang akan terjadi. Itulah mengapa dalam slogan blog saya ini, saya mengucapkan kreatif dulu baru kritis.

Terkadang ide-ide hebat anda itu mengalir di tengah-tengan aliran ide anda. Jadi, ketika itu diputus sementara oleh otak kiri yang ingin mengedit, yah... buyar deh ide itu. Termasuk dengan nyawanya. Karena nyawa tulisan itu ada di keseluruhan ide di tulisan tersebut. Ketika kita memutus-mutusnya, maka nyawa itu pun menjadi tidak utuh lagi.

Nah, itu kalau dari pakar menulis. Kalau dari saya, penyebabnya adalah kita menulis hanya dengan pikiran, tidak dengan hati. Padahal hati adalah tempat di mana suatu kejernihan dan kemurnian berada. Hati pula yang sanggup menggerakkan ide-ide dalam inkubator anda bangkit dan muncul ke permukaan.

Saya beri contoh. Ketika anda sedang sedih, anda membuat sebuah cerpen yang menceritakan kesedihan. Di saat lain, saat anda sedang senang mungkin, anda membuat cerpen dengan tema sama. Yang mana yang terasa lebih bernyawa? Jelas yang pertama. Ya! Karena ada hati yang menggerakkan di sana. Hati membuat ide-ide anda bisa tervebalisasi dengan baik secara alamiah. Hati membuat kata-kata yang anda tuliskan menjadi lebih berasa dan bernyawa.

Bahkan seseorang pernah berkata pada saya, tulislah apa yang kau rasakan, maka tulisan itu pun akan sampai pada perasaan yang membaca.

Oke... Tunggu apa lagi? Pejamkan mata anda, biarkan hati anda bicara, alirkan itu ke seluruh nadi anda, dan tulislah apa yang anda rasakan.

Jumat, 23 April 2010

Belajar untuk Tidak Sekadar Mengerti


Sudah jamak kita ketahui, di Dunia Pendidikan Indonesia saat ini, khususnya di sekolah formal, siswa hanya diajarkan untuk sekadar mengerti. Guru-guru menjejali kita dengan berbagai ilmu pengetahuan. Berbagai pelajaran. Berharap kita akan mengamalkannya jika telah lulus nanti. Yakin tuh? Saya ragu. Karena di sekolah, kita hanya dituntut untuk sekadar mengerti.

Lalu, setelah kita diajarkan berbagai mata pelajaran, kita disuruh mengerjakan soal-soal ujian. Niatnya sih untuk mengetes seberapa mengerti kita tentang mata pelajaran tersebut. Tetapi bukankah kita belajar kembali menjelang ujian? Apakah dengan cara itu ilmu pengetahuan bisa nempel di otak? Atau hanya kita ingat-ingat menjelang ujian?

Ritual ujian, apalagi ujian nasional, saya rasa telah disalahpahami oleh para siswa. Mereka mengejar nilai, pada guru-guru mereka berharap mereka mengerti dan bisa menerapkannya di kemudian hari. Bahkan, Finlandia, negara dengan pendidikan terbaik pun mengatakan bahwa ujian hanya akan mengacaukan pola pikir siswa dari makna dan tujuan sebenarnya dari belajar.

Lihat! Untuk memastikan siswa benar-benar mengerti saja, masih sulit. Apalagi membuat siswa belajar lebih dari sekadar mengerti. Padahal tingkatan pengetahuan itu ada empat. Mengerti >> Menganalisis >> Merekonstruksi >> Mencipta.

Ibarat HP, jika mengerti itu hanya tahu, oh ini HP, bisa buat ini itu. Jika menganalisis itu bisa tahu detail bagian-bagian HP tersebut, bahkan mempretelinya. Jika merekonstruksi itu bisa membuat kembali (meniru) bagian-bagian HP yang telah dipreteli itu (Bangsa China telah sampai pada tahap ini). Jika mencipta itu mampu menambahkan hal baru dari rekonstruksi yang telah kita lakukan.

Meski begitu, tak ada guna jika kita hanya mengutuk masalah ini. Kita harus mencari solusi bersama dan menerapkannya mulai dari diri kita sendiri. Ada beberapa saran dari saya:
  • Selalu belajar mandiri dengan sumber-sumber lain setelah diajarkan sesuatu dari sekolah
  • Berusaha mengerti alur logika dan asal muasal dari pengetahuan yang kita dapatkan
  • Menyambungkan pelajaran yang kita dapat dengan kejadian di kehidupan sehari-hari
  • Mempraktikkan sekecil apa pun ilmu dan keterampilan yang kita dapatkan
  • Menjadikan mengarang sebagai sarana untuk menyampaikan ide dan opini
Sebagai siswa yang tak punya daya untuk mengubah sistem, kita tetap punya tanggung jawab untuk mengubah keadaan ini. Setidaknya dengan mengubah diri kita sendiri dahulu. Membiasakan lima hal di atas untuk meningkatkan tingkat pengetahuan kita. Untuk tidak sekadar mengerti, tetapi juga mampu mencipta!

Salam Kreatif - Kritis,
Pratama

Senin, 19 April 2010

Kemana Pelajaran Mengarang?


Itulah pertanyaan yang menggelayuti pikiran saya ketika saya sedang bernostalgia dengan masa SD saya. Saya ingat sekali, setiap habis libur panjang, saya selalu diberikan tugas itu. Membuat sebuah tulisan tentang aktivitas yang saya jalani selagi libur yang entah mengapa pada saat itu disebut mengarang.

Dahulu saya cukup takut untuk melakukannya. Karena waktu libur saya biasanya dihabiskan untuk aktivitas-aktivitas yang kurang berguna. Tetapi ketika kini saya telah SMA dan sebentar lagi akan kuliah, saya merasa ada efek positif yang benar-benar membekas, bahkan menjadi pintu masuk bagi perkembangan minat saya selanjutnya. Ya! Itulah mengarang, membahasakan visual menjadi verbal.

Saya menjadi lebih bisa mengungkapkan sesuatu, menyampaikan peristiwa, menceritakan pengalaman, dll. Selain itu, tugas mengarang ini pula yang membuat saya semakin percaya diri untuk mengejar mimpi dan berkarier di bidang penulisan.

Tetapi mengapa, sejak saat itu saya sudah tidak pernah lagi merasakannya, baik di SMP maupun di SMA. Bahkan adik saya yang sekarang duduk di kelas 4 SD pun sepertinya tidak pernah diberikan tugas ini lagi. Lalu… Kemana pelajaran mengarang?

Sebagai seorang pelajar saya tidak punya jawaban yang cukup memuaskan untuk pertanyaan ini. Meski begitu, saya ingin sekali agar setiap orang khususnya para penuntut ilmu (baca:pelajar) tetap mengarang meski tak lagi dibebankan. Ada beberapa alasan mengapa mengarang menjadi sangat penting khususnya bagi pelajar:
  • Mengarang membuat pelajar terbiasa berkata melalui proses berpikir, tidak hanya spontan seperti saat mengobrol biasa
  • Mengarang membuat pelajar berani beropini dan berekspresi tanpa perasaan-perasaan penahan seperti takut dan malu
  • Mengarang membuat pelajar berkata lebih tersistematis baik lewat lisan maupun tulisan
  • Mengarang membuat siswa lebih tertarik pada dunia penulisan dan aktivitas-aktivitas lain yang berkaitan dengannya seperti membaca
  • Mengarang membuat siswa lebih peka terhadap hal-hal yang terjadi di lingkungan sekitarnya
  • Mengarang menjadi saluran perjuangan paling mudah bagi pelajar yang masih terbatas akses pergaulannya
Kadar kepentingan yang sudah sangat tinggi pada kasus ini, saya yakin akan membuat setiap pelajar yang menyadarinya akan lekas bergerak untuk memulai kembali aktivitas mengarangnya. Menceritakan pengalaman, menyampaikan suara hati, menggambarkan impian, dll. Ya! Semua itu bisa anda lakukan dengan mengarang.

Selain itu, kini teknologi telah semakin berkembang. Anda tidak perlu lagi repot-repot mengirim karangan anda ke media. Karena anda bisa punya media sendiri: itulah blog. Jadi, kini anda tak harus menunggu tugas mengarang dari guru atau diterimanya karangan anda di media. Karena anda bisa menjadi... seorang blogger.

Anda ingat perkataan saya di poster Catatan Dunia Pendidikan Indonesia? “Sudah saatnya blogging menjadi budaya pelajar Indonesia.

Salam Kreatif - Kritis,
Pratama

Jumat, 16 April 2010

Budaya Dialog yang Sedang Di Persimpangan Jalan


Tanggal 14 April lalu priok berguncang. Tepatnya di koja, cukup dekat dengan tempat tinggal saya karena memang sama-sama di kecamatan tanjung priok. Anda mungkin sudah tahu apa yang terjadi di sana. Tapi saya akan coba membahasnya dari perspektif lain yang mungkin sering kita lupakan, karena terlalu asik dengan ‘keseruannya’. Saya tidak heran jika sebagian besar masyarakat membicarakan ‘keseruan’ kejadiaannya, tapi cukup jarang yang bertanya: Mengapa ini bisa terjadi? Apa Penyebabnya?

Kalau saya lihat, hal ini disebabkan oleh belum mengakarnya budaya dialog baik dari pihak Pemprov DKI Jakarta beserta jajarannya (dalam kasus ini Satpol PP) dan masyarakat secara umum. Karena budaya ini memang masih sedang kita rekonstruksi kembali setelah selama 32 tahun dihancurleburkan oleh Orba yang sarat dengan budaya ABS (Asal Bapak Senang). Ironisnya, budaya dialog sebenarnya juga bagian dari budaya musyawarah yang merupakan karakter bangsa yang telah digariskan oleh para pendiri.

Dalam sebuah dialog, semua pihak berada pada kedudukan yang setara. Egaliter. Lalu dua pihak yang berbeda pendapat saling mengutarakan argumennya. Sehingga subjektivitas ke dua belah pihak akan diobjektivikasi di sini. Mereka memperjuangkan argumen sendiri dan menerima argumen lawan secara bergantian. Terus… Hingga pada titik tertentu tercapai kata sepakat di antara keduanya.

Prinsip implementasi dialog mirip dengan teori mekanisme pasar dan tangan-tangan tak nampaknya Adam Smith. Bahwa ada dua kutub yang saling tarik menarik dengan tujuannya masing-masing lalu digerakkan oleh tangan-tangan tak nampak ke arah tujuan bersama yang merupakan titik keseimbangan. Seperti itulah ketika kita sedang berdialog. Oya, tahukan yang dimaksud tangan-tangan tak nampak? Jelas, Allah SWT.

Dialog membuat pihak yang berseteru, berusaha mengerti keinginan masing-masing. Sehingga semua menganggap keputusan yang dihasilkan adalah keputusan bersama dan tidak ada alasan untuk kecewa karena semuanya telah setuju. Berbeda jelas dengan gaya otoritarian ataupun kekerasan.

Akan tetapi… Masalahnya bukan hanya soal budaya dialog yang belum mengakar, tetapi juga belum efektifnya budaya dialog yang dilaksanakan. Kadang-kadang saya suka kesal dengan argumen yang ‘tidak menamabah’, terkesan hanya mengulang argumen yang telah disebutkan tadi, dan menyalahkan tanpa memberi solusi.

Jangankan organisasi tingkat sekolah maupun kampus, di DPR saja saya masih sering melihat hal itu. Padahal kebebesan berpendapat melalui dialog atau musyawarah ini adalah sebuah peluang menuju kebaikan, tetapi malah dihambat dengan kebiasaan-kebiasaan berargumen yang tidak efektif. Kalau saya, lebih baik diam daripada bicara ‘tidak menambahkan’. Lebih baik berargumen sekali tapi bicara solusi daripada berargumen berulang kali hanya untuk mempermasalahkan hal yang sudah jadi masalah.

Budaya Dialog yang sedang kita rekonstruksi ini sedang di persimpangan jalan. Apakah ia akan setback dan kembali menjadi otoritarian yang sarat kekerasan? Atau akan menyimpang dari tujuan karena kebiasaan-kebiasaan berargumen tidak efektif? Atau akan terus melesat menuju tujuan luhurnya: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Salam Kreatif - Kritis,
Pratama

Followers

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes