Kamis, 18 Maret 2010

Pengangguran Intelektual: Pantaskah Kaum Intelektual Menganggur?


Frase itu (Pengangguran Intelektual – Red.) beberapa kali saya dengar belakangan ini. Entah kenapa, saya merasa frase itu adalah sebuah bentuk penghinaan dan perendahan derajat. Bagaimana bisa kata pengangguran digabungkan dengan intelektual? Tapi setelah saya merenung sejenak, ya... Faktanya memang bicara demikian. Hal ini membuat saya penasaran, hal apa yang menyebabkan ini terjadi?

Masa iya sih. Seorang yang dikaruniai puluhan bahkan ratusan buku selama 4 tahun masih menganggur? Seorang yang telah menganalisis dan menyelesaikan banyak masalah masih menganggur? Seorang yang telah berkembang dalam lingkungan sosial yang membangun dan kompetitif masih menganggur? Dan banyak lagi kebingungan-kebingungan saya tentang fakta ini.

Ada beberapa sebab menurut saya mengapa hal ini bisa terjadi?

1. Pola Pikir Lama Warisan Belanda
Menjadi jajahan Belanda selama 3,5 abad benar-benar mempengaruhi pola pikir dan karakter bangsa ini. Belanda banyak memberi warisan bagi bangsa ini. Tapi sayang, warisan itu kini tak lagi relevan tapi masih saja kita gunakan. Salah satunya adalah sekolah dan menuntut ilmu untuk menjadi pegawai (itulah mengapa saya merekomendasikan reorientasi belajar). Belanda memberikan pendidikan kepada pribumi agar bisa dijadikan tenaga terampil dan berkualitas tapi murah. Itulah mengapa banyak kaum intektual yang menganggur, karena lamarannya terus-terusan ditolak. Padahal masih banyak peluang lain yang belum dilirik (Peluang bisnis salah satunya).

2. Berorientasi pada Status dan Jabatan
Menurut saya ini juga salah satu warisan Belanda. Dulu, pribumi merasa bangga ketika mereka diangkat sebagai pegawai kompeni, pribumi lain dianggap lebih rendah darinya. Itulah mengapa banyak kaum intelektual yang gengsi untuk memulai dari bawah. Mereka lebih bangga menjadi karyawan kantoran dengan gaji 3 juga perbulan, dibanding jadi tukang nasi goreng dengan laba 300 ribu perhari. Selain itu, mereka juga merasa tidak bisa berkontribusi tanpa jabatan. Padahal sesungguhnya, banyak kontributor besar di bangsa ini yang tak punya jabatan struktural. Karena jabatan itu sementara, tapi kontribusi dan kapasitas itu abadi.

3. Hanya Mengejar Prestasi Belajar
Bayangkan! Jika seorang doktor ternyata menjadikan disertasi sebagai karya terakhirnya. Itulah yang akan terjadi ketika seseorang hanya mengejar prestasi belajar. Sehingga, jangan heran jika banyak sarjana S1 yang hanya mampu menawarkan ijazahnya. Hal ini karena mereka tidak membangun tradisi belajar. Tradisi yang membuat para sarjana, master, dan doktor terus membaca, menulis, meneliti, dan berdiskusi meski tak lagi mengejar ijazah dan dipepet tugas kuliah. Menurut mereka prestasi hanyalah bonus dari kontribusi dan karya yang telah mereka ciptakan.

Sudah jelas, bahwa akar masalahnya sebenarnya terletak pada pola pikir kita. Pola pikir yang diwariskan oleh nenek moyang yang kini tak lagi relevan dengan tantangan zaman. Pola pikir yang telah mengkungkung kita dalam ketertinggalan. Pola pikir yang membuat kemajuan itu tak kunjung datang, meski bangsa ini punya puluhan juta pejuang intelektual.

Ingat! Perubahan besar adalah akumulasi dari perubahan-perubahan kecil yang saling menguatkan. Begitu pun, tak ada perubahan dalam skala bangsa, sebelum kita memulainya dari skala individu. Tidak ada 10 tanpa 1, begitu pun tidak ada 200 juta tanpa 1. Dekatkan bangsa Indonesia dengan kemajuan dengan terus melakukan perubahan dan perbaikan, mulai dari diri sendiri, hal kecil, dan sekarang juga!

Salam Kreatif - Kritis,
Pratama

Kamis, 11 Maret 2010

Paradoks Perasaan Saat Update Status Facebook


Facebook memang menjadi salah satu inovasi terbesar saat ini (menurut saya). Banyak kejadian menarik yang terjadi karenanya. Termasuk di Negara kita, Indonesia. Bahkan facebooker (masyarakat facebook) kini sudah mulai punya kekuatan menekan tersendiri. Ingatkan dengan kasus grup yang mendukung Bibit Candra dan Cicak vs Buaya? Hal ini menandakan facebook kini bukan lagi sekedar gaya hidup, tetapi sudah seperti kampung yang punya masyarakat beserta potensinya tersendiri. Inilah facebooker: new society.

Selain seputar facebooker yang kini seakan sudah menjadi masyarakat baru tersendiri, ada sebuah fenomena menarik lain: Update Status.

Fitur ini sebenarnya disajikan untuk melaporkan keadaan atau status user kepada teman-teman yang lain. Tetapi pada prakteknya fitur ini menjadi multifungsi, banyak yang bisa dilakukan dengannya. Anda bisa menyuarakan opini anda, gagasan anda, bahkan perasaan hati anda. Eits, tapi ada sebuah paradoks di sini, ketika anda sedang mengetikkan status itu. Apakah itu?

Jadi, konsep sebenarnya begini. Status anda adalah sebuah pesan yang anda tampilkan untuk dilihat oleh teman-teman anda. Sehingga berbagai status yang anda buat sebenarnya mau tidak mau pasti akan mencitrakan diri anda. Oooh, si A orangnya begitu toh? Oooh, ternyata si B orangnya temperamental toh? Terkadang banyak orang yang tidak begitu dekat dengan anda, tetapi menjadi teman facebook anda menilai anda dari setiap status yang anda tampilkan.

Tetapi, faktanya anda sebagai pengirim pesan malah merasa facebook adalah ruang privasi layaknya diary yang bisa menjadi tempat curhat dan menumpahkan segala yang anda rasa secara ‘terlalu jujur’ dan blak-blakan. Di sinilah paradoks perasaan itu terjadi. Anda merasa ini ruang privasi, padahal kenyataanya ini adalah ruang publik. Yaa, mungkin anda memposting status dalam kesendirian, tetapi pesan yang anda bawa itu pasti akan tersebar dalam keramaian.

Ingatkah anda dengan kasus statusnya Luna Maya? Yaa, meski itu di twitter, konsep kejadiannya tetaplah sama. Di mengucapkan kata-kata bernada cacian yang mungkin seharusnya hanya di simpan di hati atau paling tidak di tulis dalam diary saja. Ia mengalamai paradoks perasaan!

Di balik setiap masalah selalu ada dua sisi yang saling bertolak belakang: hambatan atau kesempatan. Paradoks perasaan ini mungkin membuat anda menjadi sedikit lebih berhati-hati saat mengupdate status bahkan menjadi kurang leluasa berbicara. Tapi, paradoks perasaan juga menyajikan anda sebuah kesempatan untuk merekayasa citra anda di depan teman-teman facebook anda melalui status-status yang tepat guna dan sesuai sasaran. Let’s Get the Chance!

Salam Kreatif – Kritis,
Pratama

Senin, 08 Maret 2010

Lingkungan Sosial yang Membangun


Seperti yang sudah dijelaskan banyak orang, manusia adalah makhluk sosial. Menjadi bagian dari sebuah kelompok dan lingkungan adalah sebuah kepastian. Anda butuh orang lain dan orang lain butuh anda. Dari lingkup yang terkecil hingga terbesar, dari keluarga hingga rekanan kerja. Semua berpengaruh dalam hidup anda. Begitu pun anda bepengaruh bagi hidup mereka. Semunya berjalan secara timbal balik layaknya hukum demand and supply dalam ekonomi.

Sekarang pertanyaannya, seefektif apa pengaruh itu? Sebesar apa pengaruh itu? Seefisien apa pengaruh itu? Hmm... Menarik untuk dicermati. Coba anda perhatikan lingkungan sosial sekitar anda.

Berapa banyak orang yang anda temui setiap hari? Berapa banyak orang yang anda ajak ngobrol setiap hari? Berapa banyak orang yang anda telpon dan sms setiap hari? Berapa banyak orang yang anda wall dan beri komentar di Facebook setiap hari? Banyak sekali bukan?

Nah... Sekarang coba jawab lagi. Berapa banyak dari mereka yang memberi anda pelajaran hidup? Berapa banyak dari mereka yang anda beri pelajaran hidup? Berapa banyak dari mereka yang memberi anda inspirasi? Berapa banyak dari mereka yang anda beri inspirasi? Berapa banyak dari mereka yang memberi anda manfaat? Berapa banyak dari mereka yang anda beri manfaat? Jauh lebih sedikit bukan?

Itulah masalah anda kini. Terlalu banyak hubungan relasi, informasi, dan komunikasi yang anda bangun tapi kenyataannya justru TIDAK MEMBANGUN. Hubungan yang seperti itu tidak membantu anda menuju pertumbuhan dan kemajuan. Hubungan seperti itu juga menghabiskan jatah waktu anda yang sebenarnya sangat sedikit dan sebentar ini.

Ada dua pilihan bagi anda yang merasa aktivitas hubungan sosial anda tidak berjalan efektif dan efisien: Hentikan sama sekali atau Perbaiki hubungan itu.

Jika anda berniat untuk memperbaikinya, setidaknya hubungan sosial itu harus memiliki satu dari dua: Mampu memberi manfaat untuk anda atau Anda mampu memberi manfaat untuk mereka.

Pastikan! Setiap sehabis berkomunikasi dengan orang lain anda selalu mendapatkan pertumbuhan dan kemajuan. Baik itu karena anda mendapatkannya dari langsung orang lain ataupun secara tidak langsung anda bisa menambah kelekatan informasi dengan membaginya pada orang lain. Di sini pulalah, terlihat betapa pentingnya proporsionalitas antara berbicara dan mendengarkan.

Jika anda tidak mampu membangun lingkungan sosial anda, buatlah lingkungan sosial anda mampu membangun anda. Atau sebaliknya, jika lingkungan sosial anda tidak mampu membangun anda, buatlah anda mampu membangun lingkungan sosial anda. Ini adalah sebuah misi timbal balik tanpa henti. Lakunkanlah sesuai bagian dan saatnya: menerima manfaat dan memberi manfaat.

Salam Kreatif - Kritis,
Pratama

Sabtu, 06 Maret 2010

Jurusan IPA vs IPS: Masihkah Harus Dipertentangkan?


Melihat dari ramainya komentar di posting terdahulu tentang enaknya jadi siswa di jurusan IPS, saya jadi tertarik untuk membuat posting lanjutan. Selain itu, komentar-komentar itu juga banyak berisi perdebatan yang terjadi antara siswa jurusan ipa dan ips yang berusaha saling mempertahankan keunggulan dari jurusannya masing-masing.

Perdebatan atau silang pendapat memang hal biasa, tetapi jika perdebatan itu telah mengarah ke saling menjatuhkan, dibanding mencari kebenaran. Maka, perdebatan itu tak boleh diteruskan. Karena pihak yang berseteru tidak mencari titik temu bersama, tetapi titik kemenangan sendiri.

Sekarang saya bertanya. Masihkah harus kita mencari mana yang lebih baik di antara jurusan IPA dan IPS? Masih perlukah siswa jurusan IPA dan IPS berdebat demi pengakuan kehebatan? Masih perlukah siswa jurusan IPA dan IPS saling menjelek-jelekkan satu sama lain? Masihkan harus keduanya dipertentangkan?

Tidak! Karena zaman telah berubah. Kini, kita akan banyak menemukan anak IPA yang gaul, anak IPS yang ilmiah, anak IPA yang jadi ketua organisasi, atau pun anak IPS yang juara lomba karya ilmiah. Semua dimungkinkan, karena zaman pendiskreditan siswa pada jurusan tertentu telah usai. Tidak ada itu anak IPA pasti kuper atau anak IPS pasti gak pinter. Ingat! Kini zaman telah berubah.

Penjurusan yang dulu dimaksudkan untuk persiapan diri siswa sebelum kuliah dengan jurusan tertentu kini tak lagi relevan. Sehingga jurang pemisah antara jurusan IPA dan IPS pun kini semakin tak kelihatan. Semua siswa berhak menjadi apa pun yang dia inginkan tanpa dibatasi oleh cap-cap dan label-label tertentu.

Kini, bukan zamannya lagi siswa jurusan IPA dan IPS berdebat untuk unggul-unggulan diri. Tetapi untuk berjuang demi bangsa dengan mengaktualisasikan diri sesuai dengan minat dan potensi. Jadi, kini tidak ada lagi perkataan, “Lu IPA, gw IPS!”, tetapi “Apa yang bisa lu di IPA dan gw di IPS berikan buat bangsa?

Salam Kreatif - Kritis,
Pratama

Followers

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes