Sabtu, 27 Februari 2010

5 Kiat Mudah Membiasakan Diri untuk Membaca


Salah satu masalah fundamental yang menjadi penghambat kemajuan bangsa ini adalah rendahnya kemampuan literasi masyarakatnya. Terbukti dari masih tingginya tingkat buta aksara dan masih belum membudayanya budaya membaca dan menulis di masyarakat yang sudah melek aksara. Padahal dari segi ide dan kreativitas bangsa ini sangatlah potensial. Hanya sayang kita tidak punya budaya literasi untuk menunjangnya.

Oleh karena itu, kita harus mulai membiasakan diri untuk membaca. Karena kita harus mengonsumsi informasi dulu (membaca) sebelum memproduksi informasi (menulis). Tapi realitas menunjukkan sebagian masyarakat bahkan para pelajar malah mengaku kesulitan untuk membiasakan diri untuk membaca. Alasannya beragam, ada yang bilang membaca itu membosankanlah, takut dibilang kutu buku, bukan tipe yang suka baca, dan berbagai alasan ‘penghambat kemajuan’ lainnya.

Stop! Mulai detik ini hilangkanlah semua stigma itu. Karena budaya membaca adalah salah satu penunjang kemajuan bangsa ini. Oleh sebab itu, kita perlu budaya itu. Jika, anda masih kesulitan, ikutilah sedikit kiat dari pengalaman saya ini:

1. Mulailah dari yang Anda Suka
Salah satu kesalahan terbesar dari seseorang yang ingin mulai membiasakan diri untuk membaca adalah image buku dan bacaan yang sebenarnya ia buat sendiri: berat dan membosankan. Padahal banyak sekali jenis buku dengan karakteristik yang beragam. Saya dulu memulainya dengan membaca cerita fiksi seperti cerpen dan novel, berlanjut ke buku-buku praktis (yang pake kata kunci: cara, langkah, tips, kiat, dll), lalu berlanjut lagi ke buku motivasi dan pengembangan diri, hingga sekarang saya sudah mulai baca buku-buku politik dan sejarah. Satu hal yang pasti: sesuaikanlah dengan minat anda. Agar niat untuk membaca tidak hanya berasal dari pikiran, tetapi juga dari hati.

2. Sediakan Waktu Ternyaman Anda
Selanjutnya anda harus menyediakan waktu ternyaman anda. Karena seringkali seseorang malas untuk membaca jika waktunya kurang tepat. Biasanya saya membaca saat jam pelajaran kosong saat sekolah. Karena biasanya memang tidak ada pekerjaan lain yang bisa saya lakukan saat itu. Selain itu, saya juga cukup nyaman membaca saat perjalanan, beberapa saat sebelum tidur, dan saat di perpustakaan. Pakailah waktu-waktu yang biasa anda habiskan untuk bengong dan menunggu dengan membaca!

3. Tumbuhkan Rasa Ingin Tahu
Nah... Untuk semakin memicu hasrat anda untuk membaca, tumbuhkanlah rasa ingin tahu. Tanyakan setiap hal yang ada di sekitar anda dan carilah jawabannya di buku. Atau anda juga bisa melihat-lihat buku di toko atau perpustakaan dan cobalah pertanyakan, “Apasih isi buku ini?” Biasanya rasa ingin tahu dan penasaran sangat efektif untuk menggerakkan diri ini untuk melakukan sesuatu.

4. Minta Seseorang Merekomendasikan Buku kepada Anda
Nah... Ini juga salah satu cari yang efektif nih untuk lebih ‘memaksa’ diri ini untuk segera mulai membaca. Karena buku yang direkomendasikan biasanya punya nilai lebih yang akan membuat kita lebih semangat membacanya. Tanyakanlah pada teman anda, “Eh, punya buku bagus gak? Minjem dong?”

5. Membacalah Seperlunya Saja
Selagi masih belajar membacalah seperlunya saja. Tak usah berlebihan. Keperluan orang itu tergantung dari hasratnya masing-masing untuk memperoleh informasi. Makin perlu anda terhadap informasi, maka sudah pasti kuantitas dan kualitas membaca anda pun pasti akan makin banyak dan baik.

Membaca adalah kebutuhan bagi sebagian orang. Sebagian orang tersebut adalah orang-orang yang menguasai jalannya dunia. Mengapa? Karena dia menguasai informasi. Sekarang saya tanya, adakah orang sukses yang tidak memiliki budaya membaca?

Salam Kreatif – Kritis,
Pratama

Sabtu, 20 Februari 2010

Cerdas Sosial: Karena Gaul Gak Mesti Ngawur


Untuk sebagian orang, menjadi gaul bukanlah hal sulit. Karena mungkin ia telah terbiasa melakukannya sedari kecil. Tapi bagi sebagian yang lain (bahkan termasuk saya dulu) sulit melakukannya. Padahal cerdas sosial adalah salah satu modal hidup yang niscaya kita butuhkan, baik di masa kini maupun di masa depan.

Akan tetapi, gaul yang saya maksud di sini bukanlah gaul seperti ‘generasi ikut-ikutan’ di luar sana. Yang banyak berucap dan berbuat hanya karena trend yang sedang ‘in’. Apalagi trend itu seringkali berlawanan dari nilai luhur bangsa yang menyebabkan masyarakat umum mengecap ‘generasi ikut-ikutan’ ini ngawur.

Itulah mengapa saya menggunakan istilah cerdas sosial. Karena kata ‘cerdas’ melambangkan kita sebagai pelajar harus punya prinsip agar tidak terombang ambing oleh trend zaman. Selain itu, cerdas sosial lebih ke arah saling memahami dan kerja sama dibanding sekedar ikut-ikutan trend belaka.

Gaul atau Cerdas sosial (versi saya) punya beberapa prinsip yang mungkin bisa dipraktekkan oleh teman-teman semuanya. Tapi ingat, prinsip ini tidak mutlak, tergantung dari lingkungan sosial kita masing-masing.

Pertama, Mendengarkan dulu baru didengarkan. Karena manusia fitrahnya memang memiliki ego untuk didengarkan dan diakui. Sehingga justru orang yang mendengarkanlah yang akan mendapat nilai lebih. Karena ia mampu mengalahkan egonya. Selain itu, mendengarkan juga bisa membantu kita lebih memahami kondisi lingkungan sosial kita beserta tabiat dan karakternya.

Kedua, Lebih banyak bekerja sama daripada berkompetesi. Kita harus berpandangan bahwa hidup ini memiliki banyak jenis keberhasilan. Sehingga kita tidak harus mengalahkan orang lain, jika ingin berhasil. Berpikirlah! Kenapa kita tidak berhasil bersama? Bukankah bidang keberhasilan kita pun berbeda?

Ketiga, Menjadi solusi andalan. Salah satu parameter keberhasilan cerdas sosial adalah ketika kita dibutuhkan. Untuk itu, kita harus menjadi solusi dalam pergaulan sosial. Tampilkanlah inti kompetensi kita dengan mempergunakannya untuk menolong, bukan dengan mengucapkannya. Sehingga ketika masalah sejenis kembali terjadi, mereka tahu harus kepada siapa mereka meminta pertolongan.

Keempat, mencari persamaan dalam perbedaan. Salah satu masalah yang sering terjadi dalam pergaulan adalah konlfik atau persilihan. Hal ini biasanya disebabkan oleh perbedaan. Padahal apakah kita 100% beda? Tentu tidak, sama seperti kita juga tidak 100% sama. Nah... Solusinya adalah kita harus selalu mencari persamaan untuk bisa bekerja sama dan memanfaatkan perbedaan untuk saling berspesialisasi. Misal, dalam kerja kelompok, inti kompetensi dari tiap anggota pasti berbeda-beda. Ada yang tulisannya bagus, jago mengkoordinir, punya banyak ide, punya banyak buku referensi. Bukankah tugas menjadi lebih mudah ketika setiap orang mampu berspesialiasasi di inti kompetensi?
Kelima, memahami tidak harus mengikuti. Dalam cerdas sosial, kita memang dituntut untuk mampu memahami lingkungan sosial kita. Tapi ingat! Memahami itu tidak harus mengikuti. Haruskah kita mengikuti jika teman kita malas belajar? Haruskah kita mengikuti jika teman kita suka keluar malam? Haruskah kita mengikuti jika teman kita suka kebut-kebutan di jalan? Tidak.

Keenam, memberi solusi bukan menghakimi. Setelah kita berusaha menjaga diri untuk tidak ikut ke dalam pergaulan negatif, kita juga harus berusaha untuk memberi solusi. Terlebih dalam keyakinan saya, Agama Islam, saling mengingatkan dalam kebaikan adalah wajib bagi setiap muslim. Tapi cara kita mengingatkan juga haruslah baik, kita tidak boleh menghakimi kesalahan. Sebaliknya, kita harus mencoba memahami mengapa mereka melakukannya dan pelan-pelan berikan solusi kepadanya.

Sudah terbukti bukan? Bahwa gaul atau cerdas sosial itu gak mesti ngawur. Karena kita adalah bagian dari solusi, bukan masalah bangsa ini. Karena kita adalah motor penggerak perubahan, bukan perangsang kehancuran. Buktikan! Bahwa pelajar Indonesia kini tidak hanya cerdas pikiran, tetapi juga cerdas sosial!

Salam Kreatif – Kritis,
Pratama

Minggu, 14 Februari 2010

KEMANDIRIAN MAHASISWA

“Think big and globally
Srart small and locally
Choose it independently
Do it now,seriously

 1. Pendahuluan
Mahasiswa merupakan potensi yang sangat penting bagi masyarakat suatu bangsa, dan akan semakin penting bila semua itu teraktualisasikan dalam kehidupan sosial masyarakat. Secara sosiologis, posisi mahasiswa menempati tempat terhormat sebagai “Pioneer and agent of development” , paling tidak dalam persepsi masyarakat luas.
Konsekwensi dari semua itu adalah perlunya mahasiswa melakukan positioning yang tepat dan antisipatif , mengingat perubahan sosial yang sangat cepat dan hampir sulit diperkirakan (unpredictable) , karena banyaknya alternatif yang mungkin terjadi di masa depan, meskipun hukum-hukum sejarah (sunatullah fit Tarikh) dapat membantu meringankan masalah tersebut.
Namun demikian bantuan pemahaman tentang masa depan bukan jaminan ketepatan positioning, selama mahasiswa itu sendiri tidak mencoba mendefinisikan dirinya sendiri dalam konteks perubahan tersebut. Disinilah nampak perlunya kemauan, keberanian yang didasari kemampuan untuk bertindak secara bebas dan mandiri, sehingga apapun yang dilakukan selalu diperhitungkan secara cermat dan akurat, dan apapun yang terjadi akan menjadi tanggungjawab penuh setiap individu mahasiswa.

2. Kecenderungan masa depan
“Makna sesungguhnya dari penemuan bukanlah menemukan tanah baru melainkan melihat dengan sepasang mata baru (Marcel Proust) “
Meskipun tidak mudah memastikan apa yang akan terjadi di masa depan, namun banyak para akhli telah mencoba melakukan eksplorasi masa depan, hal ini paling tidak dengan suatu harapan dapat mempersempit ketidakpastian. Al Qur’an surat A1 Hasyr ayat 18 mendorong kita untuk tnempersiapkan masa depan dengan memperhatikan masa lalu, sudah tentu dalam posisi sekarang. Ini pada dasarnya bisa dikatakan sebagai warning agar kita tidak terlena dengan masa sekarang, akan tetapi, agar manusia dalam segala tindakannya sekarang ini dibarengi dengan pemikiran reflektif bagi masa depan, dan masa depan itulah yang insya Allah akan dialami oleh mahasiswa, disinilah letak pentingnya pemahaman tentang kecenderungan masa depan.
John Naisbitt dan Patricia Aburdane dalam bukunya Megatrend 2000 menyebutkan trend-trend yang akan terjadi sebagai berikut :
§ Masyarakat informasi.
§ High tech/high touch
§ Ekonomi dunia
§ Orientasi jangka panjang
§ Desentralisasi
§ Bantuan diri
§ Demokrasi partisipatif
§ Sistem jaringan
§ Selatan
§ Pilihan berganda
Kecenderungan tersebut nampaknya telah ada yang kita rasakan, namun prosesnya akan terus berlanjut, meskipun hal itu bukan suatu kepastian, namun sebagai suatu “mapping of the future” nampaknya cukup membantu dalam pembuatan keputusan tentang apa yang harus dipilih dan dilakukan sekarang agar kita tidak berposisi menentang arus atau hanyut dalam arus perubahan tanpa menjunjung tinggi kebebasan memilih yang kita miliki . Mungkin konsep kunci untuk semua kecenderungan itu adalah perubahan yang cepat akibat perkembangan teknologi yang pesat serta lingkup yang mengglobal dalam seluruh aspek kehidupan (Sosial, ekonomi, politik).

3. Kemandirian
Setiap orang punya perannya sendiri-sendiri, dengan peran itu mereka menempatkan diri, tepat atau tidak, cocok atau tidak merupakan pilihan yang terhadapnya mereka bertanggungjawab. Ini adalah suatu keharusan, apakah itu sesuai atau tidak dengan kenyataan merupakan sesuatu yang akan menjadi pengalaman individu masing-masing.
Setiap Orang (termasuk mahasiswa) punya hak, bahkan kewajiban untuk memutuskan apa yang akan dilalui dalam hidupnya sendiri, seberapa tepat pilihan yang diambil menjadi tanggungjawabnya sendiri. Dengan demikian setiap orang mempunyai kekuasaan untuk menentukan jalan hidupnya, ini berarti orang, termasuk mahasiswa adalah pemimpin (minimal bagi dirinya), dan diantara karakter pemimpin adalah sikap independensi dan responsibiliti, karena dia mandiri, maka dia bertanggungjawab atas keputusan pilihannya.
Akan tetapi secara ril diakui bahwa kemandirian tidak mudah dimiliki atau dipertahankan, sikap tersebut dipengaruhi banyak faktor , dari mulai keluarga, teman dan budaya sekitar. Dalam konteks mahasiswa, Kemandirian juga dipengaruhi oleh institusi dimana mereka belajar, Lembaga pendidikan,misalnya bisa juga menjadi belenggu bagi mahasiswa, karena lembaga pendidikan dan keguruan, maka menjadi suatu keharusan untuk menjadi Guru yang kemudian mendapat penyempitan makna menjadi Guru Negri (PNS). Menjadi PNS memang bukan suatu kesalahan, bahkan itu merupakan hak asasi setiap orang, tapi jika hal ini menutup pilihan-pilihan lain. Bisa saja dianggap suatu kekeliruan, karena kebebasan dan kemandirian memerlukan alternatif khususnya dalam penentuan pilihan, dan alternatif itu hanya bisa terlihat jika telah tumbuh pemahaman tentang apa yang sedang terjadi dan kemana masyarakat punya kecenderungan berubah.
Untuk itu disamping pemahaman tentang prediksi masa depan, kita dituntut pula untuk memiliki perangkat metode eksplorasi masa depan yang menurut Morrison ada tiga yaitu : Scenario, Forecast, dan Wildcard. Skenario merupakan pemikiran guna mengidentifikasi isu-isu kritis yang sedang dan mungkin dihadapi, Forecast merupakan proses mempersempit scenario sehingga menjadi suatu ramalan yang mungkin ingin diwujudkan , sedang wild card merupakan cara berpikir “bagaimana seandainya”, cara ini dimaksudkan untuk membantu mengatasi ketidakpastian sekaligus juga mempertajam scenario dan forecast.
Dengan ketiga perangkat tersebut , kemandirian mendapat fondasi yang lebih kuat dan kebebasan memilih akan memperoleh ruang gerak yang makin luas, makin kuat fondasi dan makin luas ruang gerak akan mendorong mahasiswa (setiap orang) berperan secara optimal dalatn kehidupan, akibataya keberanian mendesain jalan hidup sendiri akan tumbuh tanpa terbelenggu oleh hal-hal yang dapat meredupkannya.
Untuk itu setiap individu mahasiswa perlu memposisikan diri sebagai pemimpin (terutama bagi dirinya sendiri), agar segala tindakannya merupakan pencerminan dari kemandirian dan kebebasan, serta dapat melaksanakanfungsi atau kegiatan dasarnya yang menurut Stephen Covey ada tiga yaitu : Pathfinding, Aligning, dan empowerment. Pencarian alur (jalan) dilakukan dengan penuh kebebasan, penyelarasan dilakukan dengan kemandirian, dan pemberdayaan dilakukan dengan kemauan keras, semua ini insya Allah akan makin membuka cakrawala pandang atas kehidupan, sehingga menjadi Guru (PNS) bukan satu-satunya pilihan yang harus, karena ternyata pilihan yang terbentang sangat luas seluas kehidupanitu sendiri.

4. Penutup
Kemandiriandan kebebasan pada dasarnya memerlukan situasi yang kondusif, namun demikian, kemauan dan tekad yangkuat dapat membantu meringankan belenggu-belenggu yang menekan, untuk itu yangpenting memulai langkah pertama dan memperkuat visi nntuk mendorong terjadinya proses pendefinisian din dengan cara baru, sehingga positioning dapat dilakukan dengan bertanggungjawab, setelah memahami berbagai kecenderungan serta melengkapi diri dengan kemampuan, jika hal ini terjadi, insya Allah harapan-harapan dapat benar-benar menjadikenyataan dankehidupan akan menampakan diri dengan keramahan dan bersahabat.
Sumber : http://uharsputra.wordpress.com

Sarjana dan Intelektualitas


Pendidikan merupakan sebuah proses penting dalam kehidupan manusia, karena melalui proses ini manusia dibentuk dan dilahirkan sebagai seorang manusia yang utuh dan sebenarnya.

Pendidikan semestinya bertanggungjawab terhadap proses pencerdasan bangsa dan berimplikasi kuat pada proses empowerment (pemberdayaan). Hal ini perlu ditegaskan kembali, karena tingkat mendidikan yang meningkat ternyata tidak selalu inheren dengan tingkat pemberdayaan, dan karenanya tidak inheren pula dengan tingkat kemandirian. Sebaliknya, kadang-kadang meningginya tingkat pendidikan malah berimplikasi pada makin meningkatnya ketergantungan kepada pihak-pihak lain.
Mencerdaskan kehidupan bangsa sebenarnya sudah menjadi tujuan utama bangsa kita yang termaktub dalam pembukaan UUD 45. Upaya ini ditempuh melalui pendidikan nasional.
Dalam upaya mencerdaskan bangsa pendidikan seharusnya dipandang sebagai alat perjuangan pencerahan manusia. Sebagai alat perjuangan pencerahan manusia maka minimal ada tiga aspek yang harus ada dalam sebuah proses pendidikan. Pertama, Aspek iman, yang berorientasi pada proses pembentukan keyakinan manusia akan penciptanya (spiritualitas). Kedua, Aspek kognisi, yang berorientasi pada perubahan pola pikir (intelektualitas). Ketiga, Aspek affeksi, yang berorientasi pada perubahan sikap mental dan perilaku (mentalitas).
Dengan dimilikinya minimal tiga aspek dalam wacana pendidikan kita, maka seseorang yang berpendidikan dipandang sebagai seorang yang telah mengalami peningkatan iman, ilmu dan mental. Proses ilmu adalah garis vertikal yang mengarah ke atas, proses moral adalah garis akar ke dalam jiwa, sementara proses mental adalah garis horisontal. Semakin meninggi ilmu akan semakin mendalam garis moral, serta semakin melebar garis mental. Inilah yang disebut dialektika antara ilmu, mental dan moral pada proses kepribadian seseorang.
Meningkatnya ilmu pengetahuan semestinya akan membuat yang bersangkutan semakin lapang jiwanya, semakin luas bathinnya dan semakin arif kepribadiannya. Namun ternyata tidak selalu demikian. Seseorang yang lebih tinggi kapasitas pengetahuannya belum tentu lebih bijak dan arif perilakunya. Pada kenyataannya sering kita temui seorang yang lebih tinggi kedudukannya yang notabene lebih mapan kapasitas intelektualnya, lebih tinggi strata keilmuannya menjadi lebih picik pikirannya, tidak lebih arif kebijaksanaannya dan menjadi otoriter kekuasaannya. Kita selayaknya gelisah, untuk apa kita himpun informasi dan ilmu sebanyak ini kalau ia malah meningkatkan akses kita ke kemungkinan dosa, karena yang kita ketahui itu -karena sesuatu dan lain hal- tidak bisa atau terpaksa tidak kita kerjakan.
Minimal ada dua permasalahan mendasar pendidikan kita, yaitu Pendidikan Spiritual dan Pengangguran Terdidik. Pendidikan spiritual permasalahannya adalah tidak seimbangnya antara porsi pendidikan spiritual dengan pendidikan intelektual dan mental. Akibatnya bisa kita lihat dengan semakin mengakar mendaunnya budaya korupsi, manipulasi, monopoli, oligopoli, kolusi dan segala macam kejahatan birokrasi dinegeri ini. Jika dikorelasikan dengan tingkat pendidikannya, pelaku kejahatan tersebut bukanlah orang-orang yang bodoh. Dari kualitas kejahatannya tentu pelakunya bukan orang sembarangan, pastilah orang-orang pintar, pandai dan minimal pernah mengenyam persekolahan modern.
Kenakalan remaja dan kenakalan orang tua yang semakin menjadi-jadi serta kejahatan fisik maupun moral bahkan gabungan keduanya semakin merajalela, merupakan bukti lemahnya kekuatan spiritual yang dimiliki sebagian masyarakat kita. Lemahnya kekuatan spiritual ini menjadikan masyarakat kita mudah putus asa dan cenderung menghalalkan segala cara demi kepentingan materi sesaat. Mereka tidak berpandangan jauh ke depan, dimana masa depan bukan berarti hanya masa dewasa dan masa tua tetapi menyangkut pula masa kematian dan masa pasca kematian. Dan yang cukup memprihatinkan adalah pendidikan kita belum mampu merubah sikap perilaku anak didik sesuai dengan target pendidikan yaitu mempertinggi budi pekerti dan ketaqwaan kepada Allah SWT.
Pengganguran terdidik merupakan masalah berikutnya yang cukup serius. Pengangguran ibarat hantu yang sangat menakutkan bagi masyarakat kita. Tidak peduli bagi mereka yang tidak mengenyam pendidikan ataupun bagi masyarakat yang mengenyam pendidikan tinggi. Masalah pengangguran selalu dikaitkan dengan masalah pendidikan. Dengan asumsi bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin dewasa dan semakin mampu berfikir alternatif. Sehingga sangat menjadi sorotan dan ironis jika sang penganggur itu adalah sarjana (intelektual) dimana seharusnya ia sudah mampu berfikir alternatif. Pendidikan yang semula diharapkan mampu mengangkat status sosial tetapi malah menjadi beban dalam pergaulan sehari-hari. Bahkan tak jarang para sarjana mengalami kegamangan dalam masyarakat.
Jika dicermati lebih lanjut jumlah pengangguran semakin tahun semakin meningkat, apalagi ditengah keterpurukan ekonomi seperti saat ini. Pola ini menjadi menarik untuk dikaji, karena sarjana yang seharusnya mampu berfikir alternatif untuk menjadikan dirinya mandiri ternyata tidak demikian adanya. Ini menunjukkan sistem pendidikan kita belum mampu menjadi rahim yang melahirkan lulusan berjiwa enterpreneurship. Akibatnya mereka cenderung untuk mengandalkan lowongan pekerjaan dibandingkan dengan menciptakan lapangan kerja. Dunia pendidikan kita terjebak pada kata “How to use”, sehingga melahirkan produk sarjana konsumtif tidak kreatif. Lembaga-lembaga pendidikan akhirnya berfungsi sebagai pabrik-pabrik penghasil tenaga kerja yang terampil dan terlatih. Kondisi ini diperparah lagi dengan penerjemahan tujuan pendidikan yang menyesatkan. Penerjemahan tujuan pendidikan secara tidak sadar selalu dibawa pada aspek / orientasi lapangan kerja, memperoleh kursi dimana, gajinya berapa, fasilitasnya apa, dan sebagainya. Dengan demikian ketika produk sarjana ini dihadapkan pada realita kesempatan kerja yang sempit mereka tidak mampu untuk berfikir alternatif memanfaatkan ilmu dan sumber daya yang ada menjadi sesuatu yang produktif.
Simpul dari tulisan ini bahwa memang tidak ada jaminan bahwa berkembangnya kepribadian seseorang menjadi sarjana akan paralel dengan perkembangan kepribadian dan tingkat moralnya. Tidak ada jaminan bahwa membengkaknya jumlah sarjana berarti semakin terawat dan eksis pula nilai kebenaran dalam kehidupan masyarakat. Jadi untuk apa melakukan pengembaraan intelektual dan pergulatan pemikiran menjadi sarjana jika membuat jarak semakin jauh dengan Al-Khalik, Sang Pencipta ?. Ironisme yang memprihatinkan.
Menjawab ironisme tersebut diperlukan langkah sistematik dan konsisten dengan melakukan reorientasi sistem pendidikan. Sistem pendidikan yang akan dikembangkan harus mampu mewadahi tiga dimensi dasar kehidupan manusia, yaitu dimensi ruhiyah (moralitas/spiritualitas/agama), dimensi fikriyah (intelektualitas) dan dimensi mental untuk dapat dimanage secara proporsional dan seimbang. Semoga dimasa yang akan datang semakin banyak dihasilkan sarjana-sarjana multidimensional, yaitu sarjana dengan kapasitas mental, moral dan intelektual. Wallahua’lam bishawab.

Manfaat Elearning / E-Learning – Pembelajaran Online via Internet atau Intranet Services


Semakin banyak perusahaan dan individu yang memanfaatkan e-learning sebagai sarana untuk pelatihan dan pendidikan karena mereka melihat berbagai manfaat yang ditawarkan oleh pembelajaran berbasis web – internet ini. 

Dari berbagai komentar yang dilontarkan, ada tiga persamaan dalam hal manfaat yang bisa dinikmati dari e-learning.

Fleksibilitas
Jika pembelajaran konvensional di kelas mengharuskan siswa untuk hadir di kelas pada jam-jam tertentu (seringkali jam ini bentrok dengan kegiatan rutin siswa), maka e-learning memberikan fleksibilitas dalam memilih waktu dan tempat untuk mengakses pelajaran.
Siswa tidak perlu mengadakan perjalanan menuju tempat pelajaran disampaikan, e-learning bisa diakses dari mana saja yang memiliki akses ke Internet. Bahkan, dengan berkembangnya mobile technology (dengan palmtop, bahkan telepon selular jenis tertentu), semakin mudah mengakses e-learning. Berbagai tempat juga sudah menyediakan sambungan internet gratis (di bandara internasional dan cafe-cafe tertentu), dengan demikian dalam perjalanan pun atau pada waktu istirahat makan siang sambil menunggu hidangan disajikan, Anda bisa memanfaatkan waktu untuk mengakses e-learning.
Independent Learning
E-learning memberikan kesempatan bagi pembelajar untuk memegang kendali atas kesuksesan belajar masing-masing, artinya pembelajar diberi kebebasan untuk menentukan kapan akan mulai, kapan akan menyelesaikan, dan bagian mana dalam satu modul yang ingin dipelajarinya terlebih dulu. Ia bisa mulai dari topik-topik ataupun halaman yang menarik minatnya terlebih dulu, ataupun bisa melewati saja bagian yang ia anggap sudah ia kuasai. Jika ia mengalami kesulitan untuk memahami suatu bagian, ia bisa mengulang-ulang lagi sampai ia merasa mampu memahami. Seandainya, setelah diulang masih ada hal yang belum ia pahami, pembelajar bisa menghubungi instruktur, nara sumber melalui email atau ikut dialog interaktif pada waktu-waktu tertentu. Jika ia tidak sempat mengikuti dialog interaktif, ia bisa membaca hasil diskusi di message board yang tersedia di LMS (di Website pengelola). Banyak orang yang merasa cara belajar independen seperti ini lebih efektif daripada cara belajar lainnya yang memaksakannya untuk belajar dengan urutan yang telah ditetapkan.
Biaya
Banyak biaya yang bisa dihemat dari cara pembelajaran dengan e-learning. Biaya di sini tidak hanya dari segi finansial tetapi juga dari segi non-finansial. Secara finansial, biaya yang bisa dihemat, antara lain biaya transportasi ke tempat belajar dan akomodasi selama belajar (terutama jika tempat belajar berada di kota lain dan negara lain), biaya administrasi pengelolaan (misalnya: biaya gaji dan tunjangan selama pelatihan, biaya instruktur dan tenaga administrasi pengelola pelatihan, makanan selama pelatihan), penyediaan sarana dan fasilitas fisik untuk belajar (misalnya: penyewaan ataupun penyediaan kelas, kursi, papan tulis, LCD player, OHP).
Dalam hal biaya finansial William Horton (Designing Web-Based Training, 2000) mengutip komentar beberapa perusahaan yang telah menikmati manfaat pengurangan biaya, antara lain: Buckman Laboratories berhasil mengurangi biaya pelatihan karyawan dari USD 2.4 juta menjadi USD 400,000; Aetna berhasil menghemat USD 3 juta untuk melatih 3000 karyawan; Hewlett-Packard bisa memotong biaya pelatihan bagi 700 insinyur mereka untuk produk-produk chip yang selalu diperbaharui, dari USD 7 juta menjadi USD 1.5 juta; Cisco mengurangi biaya pelatihan per karyawan dari USD 1200 – 1800 menjadi hanya USD 120 per orang. Biaya non-finansial yang bisa dihemat juga banyak, antara lain: produktivitas bisa dipertahankan bahkan diperbaiki karena pembelajar tidak harus meninggalkan pekerjaan yang sedang pada posisi sibuk untuk mengikuti pelatihan (jadwal pelatihan bisa diatur dan disebar dalam satu minggu ataupun satu bulan), daya saing juga bisa ditingkatkan karena karyawan bisa senantiasa meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan dengan pekerjaannya, sementara bisa tetap melakukan pekerjaan rutinnya.
Sedangkan manfaat pembelajaran elektronik menurut A. W. Bates (Bates, 1995) dan K. Wulf (Wulf, 1996) terdiri atas 4 hal, yaitu:
  • Meningkatkan kadar interaksi pembelajaran antara peserta didik dengan guru atau instruktur (enhance interactivity). Apabila dirancang secara cermat, pembelajaran elektronik dapat meningkatkan kadar interaksi pembelajaran, baik antara peserta didik dengan guru/instruktur, antara sesama peserta didik, maupun antara peserta didik dengan bahan belajar (enhance interactivity). Berbeda halnya dengan pembelajaran yang bersifat konvensional. Tidak semua peserta didik dalam kegiatan pembelajaran konvensional dapat, berani atau mempunyai kesempatan untuk mengajukan pertanyaan ataupun menyampaikan pendapatnya di dalam diskusi. Mengapa? Karena pada pembelajaran yang bersifat konvensional, kesempatan yang ada atau yang disediakan dosen/guru/instruktur untuk berdiskusi atau bertanya jawab sangat terbatas. Biasanya kesempatan yang terbatas ini juga cenderung didominasi oleh beberapa peserta didik yang cepat tanggap dan berani. Keadaan yang demikian ini tidak akan terjadi pada pembelajaran elektronik. Peserta didik yang malu maupun yang ragu-ragu atau kurang berani mempunyai peluang yang luas untuk mengajukan pertanyaan maupun menyampaikan pernyataan/pendapat tanpa merasa diawasi atau mendapat tekanan dari teman sekelas (Loftus, 2001).
  • Memungkinkan terjadinya interaksi pembelajaran dari mana dan kapan saja (time and place flexibility). Mengingat sumber belajar yang sudah dikemas secara elektronik dan tersedia untuk diakses oleh peserta didik melalui internet, maka peserta didik dapat melakukan interaksi dengan sumber belajar ini kapan saja dan dari mana saja (Dowling, 2002). Demikian juga dengan tugas-tugas kegiatan pembelajaran, dapat diserahkan kepada instruktur begitu selesai dikerjakan. Tidak perlu menunggu sampai ada janji untuk bertemu dengan guru/instruktur. Peserta didik tidak terikat ketat dengan waktu dan tempat penyelenggaraan kegiatan pembelajaran sebagaimana halnya pada pendidikan konvensional. Dalam kaitan ini, Universitas Terbuka Inggris telah memanfaatkan internet sebagai metode / media penyajian materi. Sedangkan di Universitas Terbuka Indonesia (UT), penggunaan internet untuk kegiatan pembelajaran telah dikembangkan. Pada tahap awal, penggunaan internet di UT masih terbatas untuk kegiatan tutorial saja atau yang disebut sebagai â€Å“tutorial elektronikâ€� (Anggoro, 2001).
  • Menjangkau peserta didik dalam cakupan yang luas (potential to reach a global audience). Dengan fleksibilitas waktu dan tempat, maka jumlah peserta didik yang dapat dijangkau melalui kegiatan pembelajaran elektronik semakin lebih banyak atau meluas. Ruang dan tempat serta waktu tidak lagi menjadi hambatan. Siapa saja, di mana saja, dan kapan saja, seseorang dapat belajar. Interaksi dengan sumber belajar dilakukan melalui internet. Kesempatan belajar benar-benar terbuka lebar bagi siapa saja yang membutuhkan.
  • Mempermudah penyempurnaan dan penyimpanan materi pembelajaran (easy updating of content as well as archivable capabilities). Fasilitas yang tersedia dalam teknologi internet dan berbagai perangkat lunak yang terus berkembang turut membantu mempermudah pengembangan bahan belajar elektronik. Demikian juga dengan penyempurnaan atau pemutakhiran bahan belajar sesuai dengan tuntutan perkembangan materi keilmuannya dapat dilakukan secara periodik dan mudah. Di samping itu, penyempurnaan metode penyajian materi pembelajaran dapat pula dilakukan, baik yang didasarkan atas umpan balik dari peserta didik maupun atas hasil penilaian instruktur selaku penanggung-jawab atau pembina materi pembelajaran itu sendiri. Pengetahuan dan keterampilan untuk pengembangan bahan belajar elektronik ini perlu dikuasai terlebih dahulu oleh instruktur yang akan mengembangkan bahan belajar elektronik. Demikian juga dengan pengelolaan kegiatan pembelajarannya sendiri. Harus ada komitmen dari instruktur yang akan memantau perkembangan kegiatan belajar peserta didiknya dan sekaligus secara teratur memotivasi peserta didiknya.

Alia Sabur, Profesor Termuda di Dunia

Alia Sabur masih muda, masih 19 tahun. Namun namanya menghentak kalangan akademisi setelah dinobatkan sebagai profesor termuda oleh Guinness World Record.Dia sekarang menjadi profesor di Konkuk University Korea Selatan. Lahir pada 22 Februari 1989, Alia menjalani masa studinya dengan waktu amat singkat. Dari kelas IV SD, gadis ini langsung melompat ke universitas, dan lulus BA dengan predikat sum cum laude dari Universitas Stony Brook di New York ketika usianya baru 14 tahun.
Ia melanjutkan pendidikan di Universitas Drexel. Di universitas itu dia mendapatkan gelar master of science dan PhD. Tiga hari menjelang ulang tahun ke-19 Februari lalu, dia resmi menjadi dosen di Universitas Konkuk, Seoul, Korea Selatan. Buku Rekor Dunia Guinness menobatkannya sebagai guru besar termuda dalam sejarah. Dia menumbangkan rekor sebelumnya yang dicatat oleh Colin MacLaurin, mahasiswa Isaac Newton, pada tahun 1717.
Masa depan cemerlang terbentang luas di hadapan remaja Northport, New York itu. Tapi dia memilih mengajar. “Saya sangat senang mengajar. Karena di bidang itulah kita bisa membuat perbedaan. Dengan mengajar, kita tidak cuma menunjukkan yang bisa kita lakukan, tapi juga memampukan orang lain untuk membuat perbedaan,” katanya

Alia tidak cuma cemerlang di bidang akademis. Ia sudah tampil memainkan klarinet bersama Rockland Symphony Orchestra pada usia 11. Di bidang musik ini ia sudah mendapat berbagai penghargaan. Seni bela diri juga dikuasainya dengan menyandang sabuk hitam Tae Kwon Do.

Sumber  

Konsep Dasar Manajemen Keuangan Sekolah

A. Pengertian Manajemen Keuangan
manajemen keuangan Manajemen keuangan merupakan salah satu substansi manajamen sekolah yang akan turut menentukan  berjalannya kegiatan pendidikan di sekolah.  Sebagaimana yang terjadi di substansi Informasi Dunia Pendidikan pada umumnya, kegiatan manajemen keuangan dilakukan melalui proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian, pengawasan atau pengendalian. 
Beberapa kegiatan manajemen keuangan yaitu memperoleh dan menetapkan sumber-sumber pendanaan, pemanfaatan dana, pelaporan, pemeriksaan dan pertanggungjawaban (Lipham, 1985; Keith, 1991)
Menurut Depdiknas (2000) bahwa manajemen keuangan merupakan tindakan pengurusan/ketatausahaan keuangan yang meliputi pencatatan, perencanaan, pelaksanaan, pertanggungjawaban dan pelaporan  Dengan demikian, manajemen keuangan sekolah dapat diartikan sebagai rangkaian aktivitas mengatur keuangan sekolah mulai dari perencanaan, pembukuan, pembelanjaan, pengawasan dan pertanggung-jawaban keuangan sekolah.
B. Tujuan Manajemen Keuangan Sekolah
Melalui kegiatan manajemen keuangan maka kebutuhan pendanaan kegiatan sekolah dapat direncanakan, diupayakan pengadaannya, dibukukan secara transparan, dan digunakan untuk membiayai pelaksanaan program sekolah secara efektif dan efisien. Untuk itu tujuan manajemen keuangan adalah:
  1. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi penggunaan keuangan sekolah
  2. Meningkatkan akuntabilitas dan transparansi keuangan sekolah.
  3. Meminimalkan penyalahgunaan anggaran sekolah.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dibutuhkan kreativitas kepala sekolah dalam menggali sumber-sumber dana, menempatkan bendaharawan yang menguasai dalam pembukuan dan pertanggung-jawaban keuangan serta memanfaatkannya secara benar sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
C. Prinsip-Prinsip Manajemen Keuangan
Manajemen keuangan sekolah perlu memperhatikan sejumlah prinsip. Undang-undang No 20 Tahun 2003 pasal 48 menyatakan bahwa pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik. Disamping itu prinsip efektivitas juga perlu mendapat penekanan. Berikut ini dibahas masing-masing prinsip tersebut, yaitu transparansi, akuntabilitas, efektivitas, dan efisiensi.
1. Transparansi
Transparan berarti adanya keterbukaan. Transparan di bidang manajemen berarti adanya keterbukaan dalam mengelola suatu kegiatan. Di lembaga pendidikan, bidang manajemen keuangan yang transparan berarti adanya keterbukaan dalam manajemen keuangan lembaga pendidikan, yaitu keterbukaan sumber keuangan dan jumlahnya, rincian penggunaan, dan pertanggungjawabannya harus jelas sehingga bisa memudahkan pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengetahuinya. Transparansi keuangan sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan dukungan orangtua, masyarakat dan pemerintah dalam penyelenggaraan seluruh program pendidikan di sekolah. Disamping itu transparansi dapat menciptakan kepercayaan timbal balik antara pemerintah, masyarakat, orang tua siswa dan warga sekolah melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai.
Beberapa informasi keuangan yang bebas diketahui oleh semua warga sekolah dan orang tua siswa misalnya rencana anggaran pendapatan dan belanja sekolah (RAPBS) bisa ditempel di papan pengumuman di ruang guru atau di depan ruang tata usaha sehingga bagi siapa saja yang membutuhkan informasi itu dapat dengan mudah mendapatkannya. Orang tua siswa bisa mengetahui berapa jumlah uang yang diterima sekolah dari orang tua siswa dan digunakan untuk apa saja uang itu. Perolehan informasi ini menambah kepercayaan orang tua siswa terhadap sekolah.
2.  Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah kondisi seseorang yang dinilai oleh orang lain karena kualitas performansinya dalam menyelesaikan tugas untuk mencapai tujuan yang menjadi tanggung jawabnya. Akuntabilitas di dalam manajemen keuangan berarti penggunaan uang sekolah dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan. Berdasarkan perencanaan yang telah ditetapkan dan peraturan yang berlaku maka pihak sekolah membelanjakan uang secara bertanggung jawab. Pertanggungjawaban dapat dilakukan kepada orang tua, masyarakat dan pemerintah. Ada tiga pilar utama yang menjadi prasyarat terbangunnya akuntabilitas, yaitu (1) adanya transparansi para penyelenggara sekolah dengan menerima masukan dan mengikutsertakan berbagai komponen dalam mengelola sekolah , (2) adanya standar kinerja di setiap institusi yang dapat diukur dalam melaksanakan tugas, fungsi dan wewenangnya, (3) adanya partisipasi untuk saling menciptakan suasana kondusif dalam menciptakan pelayanan masyarakat dengan prosedur yang mudah, biaya yang murah dan pelayanan yang cepat
3.  Efektivitas
Efektif seringkali diartikan sebagai pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Garner(2004) mendefinisikan efektivitas lebih dalam lagi, karena sebenarnya efektivitas tidak berhenti sampai tujuan tercapai tetapi sampai pada kualitatif hasil yang dikaitkan dengan pencapaian visi lembaga. Effectiveness ”characterized by qualitative outcomes”. Efektivitas lebih menekankan pada kualitatif outcomes. Manajemen keuangan dikatakan memenuhi prinsip efektivitas kalau kegiatan yang dilakukan dapat mengatur keuangan untuk membiayai aktivitas dalam rangka mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan dan kualitatif outcomes-nya sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.
4.  Efisiensi
Efisiensi berkaitan dengan kuantitas hasil suatu kegiatan. Efficiency ”characterized by quantitative outputs” (Garner,2004). Efisiensi adalah perbandingan yang terbaik antara masukan (input) dan keluaran (out put) atau antara daya dan hasil. Daya yang dimaksud meliputi tenaga, pikiran, waktu, biaya. Perbandingan tersebut dapat dilihat dari dua hal:
a. Dilihat dari segi penggunaan waktu, tenaga dan biaya:
Kegiatan dapat dikatakan efisien kalau penggunaan waktu, tenaga dan biaya yang sekecil-kecilnya dapat mencapai hasil yang ditetapkan.
Ragam efisiensi dapat dijelaskan melalui hubungan antara penggunaan waktu, tenaga, biaya dan hasil yang diharapkan dapat dilihat pada gambar berikut ini:
efisiensi";
Hubungan penggunaan waktu, tenaga, biaya dan hasil yang diharapkan
Pada gambar di atas menunjukkan penggunaan daya C dan hasil D yang paling efisien, sedangkan penggunaan daya A dan hasil D menunjukkan paling tidak efisien.
b. Dilihat dari segi hasil
Kegiatan dapat dikatakan efisien kalau dengan penggunaan waktu, tenaga dan biaya tertentu memberikan hasil sebanyak-banyaknya baik kuantitas maupun kualitasnya.
Ragam efisiensi tersebut dapat dilihat dari gambar berikut ini:
efisiensi";
Hubungan penggunaan waktu, tenaga, biaya tertentu dan ragam hasil yang diperoleh
Pada gambar di atas menunjukkan penggunaan waktu, tenaga, biaya A dan hasil B paling tidak efisien. Sedangkan penggunaan waktu, tenaga, biaya A dan hasil D paling efisien.
Tingkat efisiensi dan efektivitas yang tinggi memungkinkan terselenggaranya pelayanan terhadap masyarakat secara memuaskan dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggung jawab.
=====================
Diambil  dan adaptasi dari Materi Pembinaan Profesi Kepala Sekolah/Madrasah. Direktorat Tenaga Kependidikan. Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Departemen Pendidikan Nasional. 2007)
=====================
Daftar Rujukan

Campbell, Roald F., Edwin M.Bridges, dan Raphael O.Nystrand. 1983. Introduction to Educational Administration. 5th edition. Boston: Allyn and Bacon, Inc
Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Manajemen Keuangan. Materi Pelatihan Terpadu untuk Kepala Sekolah. Jakarta: Dirjen Dikdasmen, Direktorat Pendidikan Lanjutan Tingkat Pertama
Direktorat Pendidikan Dasar. 1995/1996. Pengelolaan Sekolah di Sekolah Dasar. Jakarta: Direktorat Pendidikan Dasar. Ditdikdasmen Depdikbud
Gorton, Richard A. & Schneider, Gail T. 1991. School-Based Leadership: Callenges and Opportunities. Dubuque, IA: Wm. C. Brown Publishers
Kadarman, A.M. dan Udaya, Jusuf. 1992. Pengantar Ilmu Manajemen: Buku Panduan Mahasiswa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 056/U/2001 tentang Pedoman Pembiayaan Penyelenggaraan Pendidikan di Sekolah. Jakarta: CV Tamita Utama
Koontz, Harold dan O’Donnel, Cryill. 1984. Principles of Management: An Analysis of Managerial Functions. Third Edition. New York: McGraw-Hill Book Company.
Manullang, M. 1990. Dasar-dasar Manajemen. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Pemerintah Kota Malang. 2002. Kutipan Buku Pedoman Kerja dan Penekanan Tugas. Malang: Dinas Pendidikan Kota Malang
Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
Supriadi, Dedi. 2004. Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Sutarsih, Cicih. Tanpa tahun. Administrasi Keuangan Sekolah. Jakarta:
Swastha, Basu. 1985. Azas-azas Manajemen Modern. Yogyakarta: Liberty.
Timan, Agus, Maisyaroh, Djum Djum Noor Benty. 2000. Pengantar Informasi Dunia Pendidikan. Malang: AP FIP Universitas Negeri Malang.
Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: CV Tamita Utama
Undang-undang No 22 tahun 1999, yang direvisi dengan Undang-undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Widjanarko, M. dan Sahertian, P.A. 1996/1997. Manajemen Keuangan Sekolah. Bahan Pelatihan Informasi Dunia Pendidikan bagi Kepala SMU se- Indonesia    di Malang

Jumat, 12 Februari 2010

Metode Belajar - Mengajar Efektif dan Terintegrasi


Salah satu permasalahan kontemporer dari dunia pendidikan saat ini adalah tidak efektifnya metode belajar-mengajar. Sehingga titik temu yang dihasilkan dari keinginan dan kemampuan guru dalam mengajar dan siswa dalam belajar tidak optimal. Kadang guru lebih nyaman dengan metode pemberian tugas, tapi siswanya justru lebih bisa menangkap jika ada penjelasan dari guru. Inilah PR kita bersama: mempertemukan keduanya di titik optimal.

Kunci utama dari permasalahan ini adalah tertutup atau tersumbatnya keran demokrasi dan komunikasi. Sehingga kedua belah pihak tidak bisa saling memberi masukan. Untuk itu, langkah pertama yang harus kita lakukan adalah membuka keran itu. Buatlah siswa menjadi lebih mudah menyampaikan aspirasinya. Hilangkanlah gengsi feodalisme yang kuno itu. Bukankah pendidikan ini sebenarnya untuk mereka?

Setelah berbagai masukan telah ada di tangan segera seleksi. Mana yang sekiranya benar-benar dibutuhkan siswa secara umum. Apakah pembelajaran yang berbasis IT? Apakah pembelajaran yang lebih fokus pada diskusi? Atau yang lain. Tapi ingat, hal ini juga harus disesuaikan dengan kemampuan guru sebagai salah satu stakeholder di sekolah.

Selain efektif, metode tersebut juga harus terintegrasi. Mengapa? Karena dari kasus yang saya alami, ada beberapa guru yang punya metode belajar-mengajar yang efektif dan disukai siswa tapi guru yang lain tidak. Untuk itulah, kepala sekolah beserta jajaran staffnya harus menstadardisasikan dan mengintegrasikan metode tersebut. Agar diharapkan, semua guru dapat mempraktekkannya. Meski pemerintah telah menggariskan sebuah kurikulum yang cukup baik (KTSP), setiap sekolah juga harus mengejawantahkannya ke dalam program aksi dan metode-metode praktis. Karena itulah sebenarnya masalahnya, ide konseptual yang telah digariskan pemerintah sulit berjalan baik karena sekolah tidak mengejawantahkannya ke dalam hal-hal yang sifatnya lebih praktis.

Sebagai siswa, saya punya beberapa saran khususnya untuk para guru yang saya cintai demi metode belajar-mengajar efektif yang sama-sama kita cita-citakan ini, antara lain:

1. Mengganti sifat galak dan tertutup dengan sifat akrab dan terbuka (tapi tetap tegas untuk masalah prinsip)
2. Selalu update tentang perkembangan zaman dan menceritakannya dalam setiap pembelajaran
3. Menjadikan setiap pelajaran ‘practicable’ dengan cara menguhubungkannya dengan kehidupan sehari-hari dan isu-isu aktual
4. Menyelipkan pembelajaran etika dan moral sebagai langkah penyeimbangan kecerdasan siswa
5. Membuat siswa kagum dengan ‘ciri khas’ guru sehingga pentransferan ilmu menjadi lebih mudah
6. Berusaha untuk mengenali setiap siswa sebagai langkah perubahan ‘image’ menjadi lebih akrab dan terbuka
7. Pacu terus mereka untuk aktif bertanya
8. Hindari memberikan tugas yang sekedar menyalin dari buku cetak
9. Sering-seringlah meminta feedback dari siswa tentang metode mengajar yang mereka inginkan

Semoga, saran-saran saya di atas bisa bermanfaat. Demi kebaikan kita semua: Masyarakat Indonesia. Karena pendidikanlah yang akan menjadi pondasi kokoh dari kemajuan bangsa ini. Oleh karena itu, menghasilkan pelajar yang bermutu adalah tugas kita bersama.

Salam Kreatif – Kritis,
Pratama


Kreatif – Kritis: Sebuah Sintesis Pola Pikir Pelajar


Ketika kita membicarakan masa depan bangsa. Maka pelajarlah yang mungkin akan menjadi tema utama. Karena pelajar yang juga diidentikkan dengan kaum mudalah yang nantinya akan menjadi ‘gudang inovasi’ dan generasi baru untuk meneruskan proyek memajukan bangsa ini. Oleh karena itu, pembenahan dan pengembangan diri bagi seorang pelajar adalah wajib. Karena, kalau bukan kita siapa lagi?

Bagian pertama yang harus kita benahi dan kembangkan adalah pola pikir. Karena dari sanalah semua ucapan dan tindakan kita bersumber. Dialah ‘super komputer’ yang akan menginstruksi setiap gerak dari tubuh kita. Ibarat pesawat, dialah pilotnya.

Pola pikir adalah sebuah kerangka yang nantinya akan menjadi acuan dari setiap tindak-tanduk kita. Sehingga, jangan heran, ketika ada dua anak yang bersekolah di tempat yang sama tapi memiliki tingkat kepatuhan terhadap peraturan yang berbeda. Hal ini terjadi karena keduanya memiliki pola pikir yang berbeda, bahkan bertolak belakang.

Salah satu pengategorian pola pikir yang coba saya bahas adalah kreatif dan kritis. Dua hal yang ‘katanya’ saling bertolak belakang. Kreativitas dikatakan akan menghambat daya kritis, sedangkan kekritisan akan menghambat daya kreasi. Mungkin hal ini ada benarnya, karena memang kedua pola pikir itu lahir dari dua bagian otak yang berbeda. Kreativitas lahir dari otak kanan yang cenderung spontan dan lompat-lompat. Sedangkan kekritisan lahir dari otak kiri yang cenderung teratur dan linear.

Sekarang pertanyaannya, bukankah kita punya kedua bagian otak tersebut? Bukankah kita ditakdirkan memang untuk memiliki keduanya? Mengapa kita harus mengeleminasi salah satunya?

Tampaknya, bukan tanpa alasan Sang Pencipta membagi otak kita ini menjadi dua bagian dengan karakter yang bertolak belakang. Tak lain dan tak bukan, agar kita mampu tetap seimbang dan proporsional. Agar tidak ada dominasi dan monopoli dari salah satunya. Agar keduanya bisa bersinergi demi satu karya. Sungguh begitu agung ciptaan-Nya.

Untuk itulah, saya berusaha untuk menghadirkan dua keyword itu (Kreatif dan Kritis) di blog saya ini dan menjadikannya satu sintesis baru pola pikir pelajar (Sehingga menjadi Kreatif – Kritis). Meski hal ini telah sejak awal saya jadikan tagline, tapi entah mengapa perkembangan blog ini malah tidak menunjukkan ke arah sana. Hal ini mungkin dikarenakan saya pribadi yang masih perlu banyak belajar sebagai blogger remaja dan pemula. Oleh karena itu, mulai detik ini, Insya Allah saya akan mulai melakukan re-formulasi blog, agar isi blog ini bisa sinkron dengan tagline yang saya tawarkan: Kreatif – Kritis.

Oya, satu lagi. Untuk mendukung rencana saya tersebut. Saya juga akan selalu menggunakan salam Kreatif – Kritis di setiap akhir dari tulisan saya.

Salam Kreatif – Kritis,
Pratama

Selasa, 09 Februari 2010

Strategi Beradaptasi dengan Lingkungan Baru


Dalam hidup ini kita tidak akan berdiam diri di satu lingkungan saja. Kita akan selalu berpindah dari satu lingkungan ke lingkungan lainnya. Sehingga adaptasi atau pembiasaan mutlak diperlukan. Bahkan, saat waktu kita masih kecil dulu kita pun telah melakukannya. Coba ingat! Saat kita beradaptasi dengan teman masa kecil di dekat rumah, teman TK, teman SD, dan seterusnya. Tapi terkadang kita juga gagal dalam beradaptasi sehingga kita seperti ditolak di lingkungan tersebut. Huuu... sedihnya.

Akan tetapi, kasus yang sering terjadi biasanya hanyalah sulit beradaptasi di masa-masa awal. Menilik dari kultur bangsa kita yang sebenarnya toleran. Untuk itu, kita harus punya strategi agar masa-masa adaptasi itu menjadi lebih mudah, lancar, dan menyenangkan.

Berikut beberapa strategi yang sebagian besar saya dapatkan dari pengalaman sehari-hari:
1. Mulailah dengan senyuman
Indonesia adalah bangsa dengan kultur toleran dengan pembawaan ramah. Sehingga hampir mustahil senyum anda tidak dibalas oleh mereka. Senyuman juga membuat anda terkesan ramah, terbuka, dan rendah hati. Ingat! Kesan pertama begitu menentukan citra (image) anda ke depan.

2. Jadilah pendengar yang baik
Seseorang akan merasa sangat senang dan merasa dihargai ketika ada orang lain yang mendengarkan bahkan merespon positif pembicaraanya. Lebih banyaklah bertanya dan biarkan mereka bercerita. Selain mendengarkan, anda juga harus meresponnya dengan positif. Lebih bagus lagi jika anda mampu menambahkan informasi dan terlihat ‘nyambung’ dengan mereka. Hargailah mereka, maka mereka akan menghargaimu!

3. Carilah Masalah
Tunggu dulu! Cari masalah yang saya maksud di sini, bukanlah menciptakan masalah. Tetapi, mencari masalah untuk memberikan solusinya. Anda harus peka. Saat ada yang terlihat punya masalah dan butuh bantuan, tanyakanlah kondisi mereka dan tawarkanlah bantuan anda. Di sini anda juga bisa menciptkan citra (image) sebagai ahli di bidang tertentu. Sehingga saat ada masalah di bidang tersebut, maka andalah yang ada di pikiran mereka.

4. Amati dan Kenalilah
Seseorang akan sangat senang dan merasa dihargai ketika ia dimengerti. Setiap orang punya banyak sifat dan karakter. Tugas anda adalah untuk memahami dan mengenali mereka. Sehingga anda menjadi tahu, apa yang harus anda lakukan terhadap mereka. Jika yang anda lakukan tepat, mereka akan merasa anda mengerti mereka. Pahamilah mereka, maka mereka akan memahimu!

Udah ah, empat ajah. Sebenernya sih bisa lebih dari ini. Tapi, entar jadi kepanjangan dan bertele-tele lagih. Intinya, kita harus bisa masuk ke hati mereka dengan sikap-sikap positif kita dan kita harus punya citra (image) yang kental dan sesuai dengan inti kompetensi kita yang sebenarnya. Jadi, yang mereka tahu tentang kita harus sama seperti yang kita ingin orang tahu tentang kita!


Sabtu, 06 Februari 2010

Poster Blog Catatan Dunia Pendidikan Indonesia


Waktu itu iseng pengen bikin poster buat blog. Yaa, bisa buat promosilah. Eh, ternyata hasilnya lumayan. Yaudah, diposting ajah. Semoga dengan adanya poster blog saya jadi semakin ramai. Amiiin. Oya, kalau ada yang mau kasih masukan tulis di kolom komentar yah.

Poster ini memiliki pesan berbentuk tiga pertanyaan utama yang dijawab dengan hadirnya blog ini. Pertama, menjadikan pendidikan sebagai pondasi kemajuan bangsa. Karena masyarakat terdidik pasti akan tercerahkan, tercerdaskan, dan mandiri. Sehingga kemajuan bangsa Indonesia bukan lagi ditopang oleh utang. Tapi kemandirian.

Kedua, menjadikan pelajar sebagai motor penggerak kemajuan. Karena di tangan pelajarlah harapan bangsa ini tercurah. Belajar dari pengalaman masa lalu. Pelajar yang sehari-harinya mengasup berbagai ilmu dan pengetahuan akan membentuk karakter idealis dalam diri mereka. Sehingga, kemiskinan dan kesengsaraan bangsa akan memanggil mereka untuk ikut berjuang. Lihatlah bagaimana Sarikat Dagang Islam dan Budi Utomo yang merupakan inisiasi dari para pemuda memperjuangkan bangsanya.

Ketiga, membentuk karakter kreatif-kritis dalam diri setiap pelajar sebagai upaya pengembangan dan pemantasan diri menuju manusia bermanfaat yang sebenarnya. Kreatif merupakan kunci dari setiap pelajar agar mampu menciptakan solusi bagi berbagai masalah di bangsa ini. Selain kreatif, pelajar juga memerlukan karakter kritis. Agar mereka tidak puas hanya dengan sedikit kreativitas. Tetapi terus berusaha menuju cita-cita kesempurnaan: Manusia Bermanfaat yang Sebenarnya.

Followers

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes