Rabu, 22 Juli 2009

Pengertian Sekolah Berstandar Internasional (SBI)


Keinginan melakukan rintisan penyelenggaraan sekolah bertaraf internasional (SBI) dilatarbelakangi oleh alasan-alasan berikut. Pertama, era globalisasi menuntut kemampuan daya saing yang kuat dalam teknologi, manajemen, dan sumber daya manusia. Keunggulan teknologi akan menurunkan biaya produksi, meningkatkan kandungan nilai tambah, memperluas keragaman produk, dan meningkatkan mutuproduk. Keunggulan manajemen akan meningkatkan efektivitas dan efisiensi. Keunggulan sumber daya manusia ( SDM ) merupakan kunci daya saing karena SDM lah yang akan menentukan siapa yang mampu menjaga kelangsungan hidup, perkembangan, dan kemenangan dalam persaingan.
Kedua, rintisan penyelenggaraan SBI memiliki dasar hukum yang kuat yaitu Pasal 50 ayat 3 UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidkan nasional (UUSPN 20/2003) yang menyebutkan bahwa “ Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional”. Dan Surat Keputusan Direktur Pembinaan Sekolah Menengah Pertama Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional No. 230/C3/KEP/2008 tanggal 8 Februari 2008, Tentang Penetapan Sekolah Menengah Pertama sebagai Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional tahun 2008.


Ketiga, penyelenggaraan SBI didasari oleh filosofi eksistensialisme dan esensialisme ( fungsionalisme ). Filosofi eksistensialisme berkeyakinan bahwa pendidikan harus menyuburkan dan mengembangkan eksistensi peserta didik seoptimal mungkin melalui fasilitasi yang dilaksanakan melelui proses pendidikan yang bermartabat, proses perubahan ( kreatif, inovatif, dan eksperimentif ), menumbuhkan dan mengembangkan bakat, minat, dan kemampuan peserta didik. Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia harus memperhatikan perbedaan kecerdasan, kecakapan, bakat, dan minat peserta didik. Jadi peserta didik harus diberi perlakuan secara maksimal untuk mengaktualkan potensi intelektual, emosional, dan spiritualnya.
Filosofi esensialisme menekankan bahwa pendidikan harus berfungsi dan relevan dengan kebutuhan, baik kebutuhan individu, keluarga, maupun kebutuhan berbagai sektor dan sub-sub sektornya, baik lokal, nasional, maupun global. Terkait dengan tuntutan globalisasi pendidikan harus menyiapkan sumber daya manusia Indonesia yang mampu bersaing secara internasional.

Dalam mengaktualisasikan kedua filosofi tersebut, empat pilar pendidikan yaitu learning to know, learning to do, learning to live together, and learning to be merupakan patokan berharga bagi penyelarasan praktek-praktek penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, mulai dari kurikulum, guru, proses belajar mengajar, sarana dan prasarana, hingga sampai penilainnya. Misalnya pembelajaran tidaklah sekedar memperkenalkan nilai-nilai (learning to know), tetapi juga bisa membangkitkan penghayatan dan mendorong menerapkan nilai-nilai tersebut (learning to do) yang dilakukan secara kolaboratif (learning to live together) dan menjadikan peserta didik percaya diri dan menghargai dirinya (learning to be).

B. PENGERTIAN SBI

SBI adalah sekolah nasional yang menyiapkan peserta didiknya berdasarkan standar nasional pendidikan (SNP) Indonesia dan bertaraf internasional sehingga lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional.
Dengan pengertian ini, SBI dapat dirumuskan sebagai berikut :
SBI = SNP + X
Di mana SNP adalah standar nasional pendidikan (SNP) yang meliputi : kompetensi llulusan, isi proses, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, dana, pengelolaan, dan penilaian; dan X merupakan penguatan, pengayaan, pengembangan, perluasan, pendalaman melalui adapsi atau adopsi terhadap standar pendidikan, baik dari dalam maupun luar negeri, yang diyakini telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional.
Lulusan SBI diharapkan, selain menguasai SNP di Indonesia, juga menguasai kemampuan-kemampuan kunci global agar setara dengan rekannya dari negara-negara maju. Untuk itu pengakraban peserta didik terhadap nilai-nilai progresif yang diunggulkan dalam era global perlu digunakan sebagai acuan dalam penyelenggaraan SBI. Nilai-nilai progresif tersebut akan dapat mempersempit kesenjangan antara Indonesia dengan negara-negara maju, khususnya dalam bidang ekonomi dan teknologi. Perkembangan ekonomi dan teknologi sangat tergantung pada penguasaan disiplin ilmu keras ( hard science ) dan disiplin ilmu lunak ( soft science ). Disiplin ilmu keras ( hard science ) meliputi matematika, fisika,kimia, biologi, astronomi, dan terapannya yaitu teknologi komunikasi, transportasi, manufaktur, konstruksi, bio energi, dan bahan. Disiplin ilmu lunak ( soft science )meliputi sosiologi, ekonomi, bahasa asing ( Inggris utamanya), dan etika global.

C. VISI, MISI DAN TUJUAN SBI

Mengacu pada visi pendidikan nasional dan visi Depdiknas, maka visi SBI adalah “terwujudnya insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif secara internasional”. Visi tersebut memiliki implikasi bahwa penyiapan manusia Indonesia yang memiliki kompetensi bertaraf internasional memerlukan upaya-upaya yang dilakukan secara intensif terarah, terencana, dan sistematik agar dapat mewujudkan bangsa yang maju, sejahtera, damai, dihormati, dan diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lain.
Berdasarkan visi tersebut, maka misi SBI adalah mewujudkan manusia Indonesia cerdas dan kompetitif secara internasional, yang mampu bersaing dan berkolaborasi secara global.
Penyelenggaraan SBI bertujuan untuk menghasilkan lulusan yang berkelas nasional dan internasional sekaligus. Lulusan yang berkelas nasional secara jelas telah dirumuskan dalam UU No. 20/2003 dan dijabarkan dalam PP 19/2005, dan lebih dirincikan lagi dalam Permendiknas No. 23/2006 tentang standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang bunyinya sebagai berikut :
Pendidikan dasar bertujuan untuk meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, dan ketrampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
Perlu dicatat bahwa sebagai upaya untuk mengembangkan pendidikan bertaraf internasional, BSI harus tetap memegang teguh untuk mengembangkan jati diri / nilai-nilai bangsa Indonesia.

D. STANDAR SBI

Mengingat SBI merupakan upaya sadar, intens, terarah, dan terencana untuk mewujudkan citra manusia ideal yang memiliki kemampuan dan kesanggupan hidup secara lokal, regional, nasional, dan global. Maka perlu dirumuskan rumus SBI yang meliputi output, proses, dan input.
Pertama, output / lulusan SBI memiliki kemampuan-kemampuan bertaraf nasional plus internasional sekaligus, yang ditunjukkan oleh penguasaan SNP Indonesia dan penguasaan kemampuan-kemampuan kunci yang diperlukan dalam era global.
Kedua, proses penyelenggaraan SBI mampu mengakrabkan, menghatatkan dan menerapkan nilai-nilai ( religi, ekonomi, seni, solidaritas, dan teknologi mutakhir dan canggih ).
Ketiga, input adalah segala hal yang diperlukan untuk berlangsungnya roses dan harus memiliki tingkat kesiapan yang memadai. Input penyelenggaraan SBI yang ideal untuk menyelenggarakan proses pendidikan yang bertaraf internasional meliputi peserta didik baru ( intake ) yang diseleksi secara ketat dan masukan instrumental yaitu kurikulum, pendidik, kepala sekolah, tenaga pendukung, sarana dan prasarana, dana dan lingkungan sekolah. Intake ( peserta didik baru ) diseleksi secara ketat melalui saringan rapor SD, ujian akhir sekolah, scholactic apptitude test (SAT), kesehatan fisik, dan tes wawancara.

E. MODEL-MODEL PENYELENGGARAAN

Model penyelenggaraan menurut SBI menurut UU No.20 / 2003 ada 3 jenis, yaitu :
1. Sekolah Nasional
2. Sekolah Asing
3. Sekolah Franchise Asing
Sekolah Nasional adalah sekolah yang menerangkan ketentuan nasional secara utuh. Sekolah ini tidak dicampuri oleh sistem pendidikan negara lain.
Sekolah Asing adalah sekolah yang diselenggarakan oleh perwakilan negara asing di wilayah NKRI, yang peserta didiknya adalah warga negara asing dan menggunakan sistem yang berlaku di negara yang bersangkutan atas persetujuan Pemerintah RI. Pemerintah Indonesia tidak mengurus jenis sekolah ini, kecuali pemberian izin pendirian.
Sekolah Franchise Asing merupakan lembaga pendidikan dasar dan menengah asing yang terakreditasi di negaranya diperbolehkan menyelenggarakan pendidikan di wilayah NKRI dengan menggunakan kurikulum asing dengan catatan wajib memberikan pendidikan agama dan kewarganegaraan bagi peserta didik WNI dan wajib bekerja sama dengan lembaga pendidikan di wilayah NKRI, yaitu dengan mengikutsertakan pendidik dan tenaga kependidikan dari Indonesia.
SBI meskipun bertaraf internasional, sistemnya menggunakan sistem pendidikan nasional Indonesia, baik kurikulum, pendidikan, dan ketentuan lainnya.
Pada dasarnya SBI adalah sekolah Indonesia yang menerapkan SNP Indonesia plus pengayaan/penguatan/pendalaman internasional yang digali dari sekolah-sekolah dalam dan luar negeri.

Model Pengembangan Sekolah yang Ada ( Exciting Develoved SBI )
Pengembangan SBI juga dapat dilakukan dengan mengembangkan sekolah yang telah ada saat ini, khususnya sekolah yang memiliki mutu bagus ( misalnya SSN yang baik atau kategori formal mandiri ) dan memiliki guru profesional, kepala sekolah yang tangguh, dan sarana serta prasarana yang memungkinkan dapat dikembangkan lebih lanjut.
Pola ini jauh lebih murah, namun memerlukan tahapan yang jelas, terencana dan sistematis. Perlu disadari bahwa mengubah sekolah dengan kondisi seperti saat ini menjadi bertaraf internasional tidak . Membangun gedung dan melengkapi fasilitas mungkin dapat dilakukan dengan relatif cepat. Namun, meningkatkan mutu guru, menyiapkan sistem manajemen, dan mengubah budaya sekolah merupakan tantangan besar yang harus disadari sejak awal.
Oleh karena itu, jika ingin mengembangkan SBI dari sekolah yang sudah ada saat ini, perlu diterapkan langkah-langkah perencanaan sebagai berikut : dimana kita saat ini ( kondisi sekolah saat ini ), kemana kita akan pergi ( kondisi sekolah saat sudah menjadi SBI yang sesungguhnya), bagaimana caranya kita mencapai ke sana ( strategi/tahapan pencapaian ), dan bagaimana caranya mengetahui bahwa kita telah mencapai SBI ( monitoring dan evaluasi ). Dengan membandingkan kondisi saat ini dengan kondisi ideal menjadi SBI akan diketahui kesenjangan yang ada, baik fasilitas, guru, manajemen, kultur sekolah, dan sebagainya. Kesenjangan itulh yang harus didekatkan atau bahkan dihapuskan melalui strategi dan pentahapan yang jelas.

F. MODEL PENGEMBANGAN

1. Model Pengembangan Sekolah yang Ada
2. Model Kemitraan

G. STRATEGI PEMBIAYAAN

Penyelenggaraan SBI memerlukan biaya yang memadai. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa SBI memerlukan input dan proses yang memadai untuk mencapai output yang bertaraf internasional. Input, kurikulum, guru, maupun sarana dan prasarana harus dipersiapkan agar bertaraf internasional, sehingga memerlukan biaya besar. Proses belajar mengajar SBI menerapkan pendekatan-pendekatan yang kreatif, inovatif, dan eksperimentif sehingga dukungan dana yang besar sangat diperlukan. Pertanyaannya adalah “Siapa, membiayai berapa banyak, untuk apa ?”
Berdasarkan kesepakatan-kesepakan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, maka proporsi pembiayaan SBI dapat diformulasikan sebagai berikut. Pemerintah Pusat membiayai 50 %, Pemerintah Daerah Propinsi 30%, dan Pemerintah Kabupaten/Kota 20%. Formulasi ini bukan harga mati. Artinya bagi daerah-daerah yang kaya, mereka dapat nirkontribusi lebih dari besarnya prosentase tersebut.
Bagi peserta SBI yang lemah secara ekonomi dapat didukung pembiayaannya melalui subsidi silang dari peserta didik yang mampu. Hal ini penting digarisbawahi agar SBI merupakan sekolah untuk semua dan bukan untuk sekolah eksklusif yang diperuntukkan bagi kaum mampu semata.
Mengingat keterbatasan dana dari pemerintah pusat dan daerah, maka strategi pembiayaan SBI ke depan harus mempertimbangkan kontribusi dari masyarakat.

H. TUGAS DAN FUNGSI JAJARAN BIROKRASI DEPDIKNAS
Tugas dan fungsi Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah adalah : (1) merumuskan dan menetapkan kebijakan , (2) merumuskan standar, (3) membimbing melalui pemberian pedoman, pelatihan, dsb, (4) mengatur melelui penerbitan legislasi dan regulasi, dan (5) mengawasi pelaksanaan dan mengevaluasi SBI. Tugas dan fungsi ini secara teknis akan dilakukan oleh masing-masing Direktorat Pembinaan TK dan SD, SMP, SMA, dan SMK.
Tugas dan fungsi Dinas Pendidikan Propinsi adalah melaksanakan kebijakan, Depdiknas melalui : (1) penyusunan petunjuk teknis pelaksanaan kebijakan, standar, legislasi dan regulasi, dan pedoman-pedoman yang disusun oleh Depdiknas, (2) pemberian bimbingan kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan sekolah-sekolah khususnya SD dan SMP melalui pelatihan, lokakarya.
Secara umum tugas dan fungsi Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota adalah memberikan pelayanan dalam penyelenggaraan SBI di Kabupaten/Kota masing-masing melalui : (1) penyusunan petunjuk teknis pelaksanaan kebijakan, standar, legislasi dan regulasi, dan pedoman-pedoman yang disusun oleh Depdiknas untuk SD dan SMP yang melaksanakan SBI, (2) pembinaan, pengurusan, dan pembimbingan SBI untuk SD dan SMP melalui pelatihan, lokakarya, diskusi kelompok terfokus dsb., (3) pemberian pelayanan terhadap SBI dalam mengelola seluruh aset atau sumber daya pendidikan yang meliputi guru, kepala sekolah, tenaga pendukung, sarana dan prasarana, buku pelajaran, dana pendidikan dsb., (4) pengkoordinasian dan penyerasian pelaksanaan SBI untuk Sd dan SMP, dan (5) pelaksanaan pengawasan dan evaluasi SBI serta pengembangannya di Kabupaten/Kota masing-masing.



KONSEP DAN KARAKTERISTIK ESENSIAL SEKOLAH BERSTANDAR INTERNASIONAL


1. Konsep Sekolah Bertaraf Internasional
Seperti dijelaskan dalam ”Pedoman Penjaminan Mutu Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah tahun 2007”, bahwa Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional merupakan ”Sekolah/Madrasah yang sudah memenuhi seluruh Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan diperkaya dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu negara anggota Organization for Economic Co-operation and Development dan / atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, sehingga memiliki daya saing di forum internasional”

Dengan konsep ini, SBI adalah sekolah yang sudah memenuhi dan melaksanakan standar nasional pendidikan yang meliputi: standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian. Selanjutnya aspek-aspek SNP tersebut diperkaya, diperkuat, dikembangkan, diperdalam, diperluas melalui adaptasi atau adopsi standar pendidikan dari salah satu anggota OECD dan / atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan serta diyakini telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional, serta lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional. Dengan demikian diharapkan SBI harus mampu memberikan jaminan bahwa baik dalam penyelenggaraan maupun hasil-hasil pendidikannya lebih tinggi standarnya daripada SNP. Penjaminan ini dapat ditunjukkan kepada masyarakat nasional maupun internasional melalui berbagai strategi yang dapat dipertanggungjawabkan.

Sesuai dengan konsepsi SBI di atas, maka dalam upaya mempermudah sekolah dalam memahami dan menjabarkan secara operasional dalam penyelenggraan pendidikan yang mampu menjamin mutunya bertaraf internasional, maka dapat dirumuskan bahwa SBI pada dasarnya merupakan pelaksanaan dan pemenuhan delapan unsur SNP sebagai indikator kinerja kunci minimal dan ditambah (dalam pengertian ditambah atau diperkaya/dikembangkan/diperluas/diperdalam) dengan x yang isinya merupakan penambahan atau pengayaan/pemdalaman/penguatan/perluasan dari delapan unsur pendidikan tersebut serta sistem lain sebagai indikator kinerja kunci tambahan yang berstandar internasional dari salah satu anggota OECD dan/atau negara maju lainnya.

Hal ini sesuai juga dengan yang dijelaskan dalam kebijakan Depdiknas tersebut bahwa dalam kerangka pencapaian standar mutu internasional, maka tiap sekolah yang telah menjadi rintisan SBI atau SBI mandiri harus memenuhi indikator kinerja kunci minimal (delapan unsur SNP) dan indikator kinerja kunci tambahan (terdiri berbagai unsur ). Delapan unsur SNP tersebut adalah terdiri dari: standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian.

Untuk dapat memenuhi karakteristik dari konsep SBI tersebut, yaitu sekolah telah melaksanakan dan memenuhi delapan unsur SNP sebagai pencapaian indikator kinerja kunci minimal ditambah beberapa unsur sebagai indikator kinerja kunci tambahan, maka sekolah dapat melakukan minimal dengan dua cara, yaitu: (1) adaptasi, yaitu penyesuaian unsur-unsur tertentu yang sudah ada dalam SNP dengan mengacu (setara/sama) dengan standar pendidikan salah satu anggota OECD dan / atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, diyakini telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional, serta lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional; dan (2) adopsi, yaitu penambahan atau pengayaan/pemdalaman/penguatan/perluasan dari unsur-unsur tertentu yang belum ada diantara delapan unsur SNP dengan tetap mengacu pada standar pendidikan salah satu anggota OECD dan / atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, diyakini telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional, serta lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional.

Oleh karena itu bagi sekolah yang akan melakukan adaptasi ataupun adopsi, perlu mencari mitra internasional, misalnya sekolah-sekolah dari negara-negara anggota OECD yaitu: Australia, Austria, Belgium, Canada, Czech Republic, Denmark, Finland, France, Germany, Greece, Hungary, Iceland, Ireland, Italy, Japan, Korea, Luxembourg, Mexico, Netherlands, New Zealand, Norway, Poland, Portugal, Slovak Republic, Spain, Sweden, Switzerland, Turkey, United Kingdom, United States dan negara maju lainnya seperti Chile, Estonia, Israel, Russia, Slovenia, Singapore dan Hongkong yang mutunya telah diakui secara internasional. Atapun dapat juga bermitra dengan pusat-pusat pelatihan, industri, lembaga-lembaga tes/sertifikasi internasional seperti misalnya Cambridge, IB, TOEFL/TOEIC, ISO, pusat-pusat studi dan organisasi-organisasi multilateral seperti UNESCO, UNICEF, SEAMEO, dan sebagainya.

Esensi lainnya dari konsepsi tentang SBI adalah adanya daya saing pada forum internasional terhadap komponen-komponen pendidikan seperti output/outcomes pendidikan, proses penyelenggaraan dan pembelajaran, serta input SBI harus memiliki daya saing yang kuat/tinggi. Masing-masing komponen tersebut harus memiliki keunggulan yang diakui secara internasional, yaitu berkualitas internasional dan telah teruji dalam berbagai aspek sesuai dengan karakteristiknya masing-masing. Bukti bahwa telah diakui dan teruji secara internasional dengan sertifikasi minimal dengan berpredikat baik dari salah satu negara anggota OECD, negara maju lainnya atau lembaga internasional yang relevan. Beberapa ciri esensial dari SBI ditinjau dari komponen pendidikan yang berdaya saing tinggi yaitu:

1. Output/outcomes SBI dikatakan memiliki daya saing internasional antara lain bercirikan: (1) lulusan SBI dapat melanjutkan pendidikan pada satuan pendidikan yang bertaraf internasional, baik di dalam maupun di luar negeri, (2) lulusan SBI dapat bekerja pada lembaga-lembaga internasional dan/atau negara-negara lain, dan (3) meraih medali tingkat internasional pada berbagai kompetisi sains, matematika, teknologi, seni, dan olah raga. Proses penyelenggaraan dan pembelajaran dikatakan memiliki daya saing internasional antara lain cirinya telah menerapkan berbagai model pembelajaran yang berstandar internasional, baik yang bersifat pembelajaran teori, eksperimen maupun praktek;

2. Proses pembelajaran, penilaian, dan penyelenggaraan harus bercirikan internasional, yaitu: (1) pro-perubahan yaitu proses pembelajaran yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan daya kreasi, inovasi, nalar dan eksperimentasi untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru, a joy of discovery; (2) menerapkan model pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan; student centered; reflective learning; active learning; enjoyble dan joyful learning; cooperative learning; quantum learning; learning revolution; dan contextual learning, yang kesemuanya itu telah memiliki standar internasional; (3) menerapkan proses pembelajaran berbasis TIK pada semua mata pelajaran; (4) proses pembelajaran menggunakan bahasa Inggris khususnya mata pelajaran sains, matematika, dan teknologi; (5) proses penilaian dengan menggunakan model-model penilaian sekolah unggul dari negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan; dan (6) dalam penyelenggaraannnya harus bercirikan utama kepada standar manajemen internasional yaitu mengimplementasikan dan meraih ISO 9001 versi 2000 atau sesudahnya dan ISO 14000, dan menjalin hubungan sister school dengan sekolah bertaraf internasional di luar negeri.

3. Input SBI yang esensial bercirikan internasional antara lain: (a) telah terakreditasi dari badan akreditasi sekolah di salah satu negara anggota OECD dan atau negara maju lainnya yang memiliki keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan; (b) standar kelulusan lebih tinggi daripada standar kelulusan nasional, sistem administrasi akademik berbasis TIK, dan muatan mata pelajaran sama dengan muatan mata pelajaran (yang sama) dari sekolah unggul diantara negara anggota OECD atau negara maju lainnya yang memiliki keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan; (c) jumlah guru minimal 20% berpendidikan S2/S3 dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi A dan mampu berbahasa inggris aktif, kepala sekolah minimal berpendidikan S2 dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi A dan mampu berbahasa inggris aktif, serta semua guru mampu menerapkan pembelajaran berbasis TIK; (d) tiap ruang kelas dilengkapi sarana dan prasarana pembelajaran berbasis TIK, perpustakaan dilengkapi sarana digital/berbasis TIK, dan memiliki ruang dan fasilitas multi media; dan (e) menerapkan berbagai model pembiayaan yang efisien untuk mencapai berbagai target indikator kinerja kunci tambahan.

2. Karakteristik Esensial SBI pada Jenjang Pendidikan SMP
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa sekolah yang telah bertaraf internasional harus memiliki keunggulan yang ditunjukkan oleh pengakuan internasional terhadap masukan, proses dan hasil-hasil pendidikan dalam berbagai aspek. Pengakuan tersebut dibuktikan dengan sertifikasi berpredikat baik dari salah satu anggota OECD dan / atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan, diyakini telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional, serta lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional. Dalam lulusan SBI diharapkan, selain menguasai kompetensi dengan SNP di Indonesia, juga menguasai kemampuan-kemampuan kunci global agar setara dengan rekannya dari lulusan negara-negara maju tersebut.

Untuk itu pengakraban peserta didik terhadap nilai-nilai progresif yang diunggulkan dalam era global perlu digunakan sebagai acuan dalam penyelenggaraan SBI. Nilai-nilai progresif tersebut akan dapat mempersempit kesenjangan antara Indonesia dengan negara-negara maju, khususnya dalam bidang ekonomi dan teknologi. Perkembangan ekonomi dan teknologi sangat tergantung pada penguasaan disiplin ilmu keras (hard science) dan disiplin ilmu lunak (soft science). Disiplin ilmu keras meliputi matematika, fisika, kimia, biologi, astronomi, dan terapannya yaitu teknologi yang meliputi teknologi komunikasi, transportasi, manufaktur, konstruksi, bio, energi, dan bahan. Disiplin ilmu lunak (soft science) meliputi, misalnya, sosiologi, ekonomi, bahasa asing (Inggris, utamanya), dan etika global.

Apabila mengacu pada visi pendidikan nasional, maka karakteristik visi SBI adalah ”terwujudnya insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif secara internasional”. Visi tersebut memiliki implikasi bahwa penyiapan manusia bertaraf internasional memerlukan upaya-upaya yang dilakukan secara intensif, terarah, terencana, dan sistematik agar dapat mewujudkan bangsa yang maju, sejahtera, damai, dihormati, dan diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lain. Maka dari itu misi SBI adalah mewujudkan manusia Indonesia cerdas dan kompetitif secara internasional, yang mampu bersaing dan berkolaborasi secara global. Misi ini direalisasikan melalui kebijakan, rencana, program, dan kegiatan SBI yang disusun secara cermat, tepat, futuristik, dan berbasis demand-driven. Penyelenggaraan SBI bertujuan untuk menghasilkan lulusan yang berkelas nasional dan internasional sekaligus. Lulusan yang berkelas nasional secara jelas telah dirumuskan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan dijabarkan dalam PP 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan dalam Permendiknas nomor 23/2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL), serta dalam ”Pedoman Penjaminan Mutu Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah”.

sumber Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama)




KISAH BURUNG PIPIT




Ketika musim kemarau baru saja mulai, seekor Burung Pipit mulai merasakan tubuhnya kepanasan, lalu mengumpat pada lingkungan yang dituduhnya tidak bersahabat. Dia lalu memutuskan untuk meninggalkan tempat yang sejak dahulu menjadi habitatnya, terbang jauh ke utara yang konon kabarnya, udaranya selalu dingin dan sejuk.


Benar, pelan pelan dia merasakan kesejukan udara, makin ke utara makin sejuk, dia semakin bersemangat memacu terbangnya lebih ke utara lagi. Terbawa oleh nafsu, dia tak merasakan sayapnya yang mulai tertempel salju, makin lama makin tebal, dan akhirnya dia jatuh ke tanah karena tubuhnya terbungkus salju.Sampai ke tanah, salju yang menempel di sayapnya justru bertambah tebal. Si Burung pipit tak mampu berbuat apa apa, menyangka bahwa riwayatnya telah tamat.

Dia merintih menyesali nasibnya. Mendengar suara rintihan, seekor Kerbau yang kebetulan lewat datang menghampirinya. Namun si Burung kecewa mengapa yang datang hanya seekor Kerbau, dia menghardik si Kerbau agar menjauh dan mengatakan bahwa makhluk yang tolol tak mungkin mampu berbuat sesuatu untuk menolongnya.

Si Kerbau tidak banyak bicara, dia hanya berdiri, kemudian kencing tepat diatas burung tersebut. Si Burung Pipit semakin marah dan memaki maki si Kerbau. Lagi-lagi Si kerbau tidak bicara, dia maju satu langkah lagi, dan mengeluarkan kotoran ke atas tubuh si burung.Seketika itu si Burung tidak dapat bicara karena tertimbun kotoran kerbau. Si Burung mengira lagi bahwa mati tak bisa bernapas.Namun perlahan lahan, dia merasakan kehangatan, salju yang membeku pada bulunya pelan pelan meleleh oleh hangatnya tahi kerbau, dia dapat bernapas lega dan melihat kembali langit yang cerah. Si Burung Pipit berteriak kegirangan, bernyanyi keras sepuas-puasnya.

Mendengar ada suara burung bernyanyi, seekor anak kucing menghampiri sumber suara, mengulurkan tangannya, mengais tubuh si burung dan kemudian menimang nimang, menjilati, mengelus dan membersihkan sisa-sisa salju yang masih menempel pada bulu si burung.

Begitu bulunya bersih, Si Burung bernyanyi dan menari kegirangan, dia mengira telah mendapatkan teman yang ramah dan baik hati.Namun apa yang terjadi kemudian, seketika itu juga dunia terasa gelap gulita bagi si Burung, dan tamatlah riwayat si Burung Pipit ditelan oleh si Kucing.

Dari kisah ini, banyak pesan moral yang dapat dipakai sebagai pelajaran:

1. Halaman tetangga yang nampak lebih hijau, belum tentu cocok buat kita.
2. Baik dan buruknya penampilan, jangan dipakai sebagai satu-satunya ukuran.
3. Apa yang pada mulanya terasa pahit dan tidak enak, kadang kadang bisa berbalik membawa hikmah yang menyenangkan, dan demikian pula sebaliknya.
4. Ketika kita baru saja mendapatkan kenikmatan, jangan lupa dan jangan terburu nafsu, agar tidak kebablasan.
5. Waspadalah terhadap Orang yang memberikan janji yang berlebihan.

-A Legend of a little sparrow-

sumber : manajemenqolbu.com. kiriman milis Al-Irsyad Surabaya



ABU HANIFAH YANG TAAT


Akibat menolak diangkat menjadi hakim, Abu Hanifah ditangkap. Ulama ahli hukum Islam itu pun di penjara. Sang penguasa rupanya marah besar hingga menjatuhkan hukuman yang berat.


Dalam penjara, ulama besar itu setiap hari mendapat siksaan dan pukulan. Abu Hanifah sedih sekali. Yang membuatnya sedih bukan karena siksaan yang diterimanya, melainkan karena cemas memikirkan ibunya. Beliau sedih kerena kehilangan waktu untuk berbuat baik kepada ibunya.

Setelah masa hukumannya berakhir, Abu Hanifah dibebaskan. Ia bersyukur dapat bersama ibunya kembali.

"Ibu, bagaimana keadaanmu selama aku tidak ada?" tanya Abu Hanifah.

"Alhamdulillah. .....ibu baik-baik saja," jawab ibu Abu Hanifah sambil tersenyum.

Abu Hanifah kembali menekuni ilmu agama Islam. Banyak orang yang belajar kepadanya. Akan tetapi, bagi ibu Abu Hanifah ia tetap hanya seorang anak. Ibunya menganggap Abu Hanifah bukan seorang ulama besar. Abu Hanifah sering mendapat teguran. Anak yang taat itu pun tak pernah membantahnya.

Suatu hari, ibunya bertanya tentang wajib dan sahnya shalat. Abu Hanifah lalu memberi jawaban. Ibunya tidak percaya meskipun Abu Hanifah berkata benar.

"Aku tak mau mendengar kata-katamu, " ucap ibu Hanifah. "Aku hanya percaya pada fatwa Zar'ah Al-Qas," katanya lagi.

Zar'ah Al-Qas adalah ulama yang pernah belajar ilmu hukum Islam kepada Abu Hanifah." Sekarang juga antarkan aku ke rumahnya,"pinta ibunya.

Mendengar ucapan ibunya, Abu Hanifah tidak kesal sedikit pun. Abu Hanifah mengantar ibunya ke rumah Zar'ah Al-Qas.

"Saudaraku Zar'ah Al-Qas, ibuku meminta fatwa tentang wajib dan sahnya shalat," kata Abu Hanifah begitu tiba di rumah Zar'ah Al-Qas.

Zar'ah Al-Qas terheran-heran kenapa ibu Abu Hanifah harus jauh-jauh datang ke rumahnya hanya untuk pertanyaan itu? Bukankah Abu Hanifah sendiri seorang ulama? Sudah pasti putranya itu dapat menjawab dengan mudah.

"Tuan, Anda kan seorang ulama besar? kenapa Anda harus datang padaku?" tanya Zar'ah Al-Qas.

"Ibuku hanya mau mendengar fatwa dari anda," sahut Abu Hanifah.

Zar'ah tersenyum," baiklah, kalau begitu jawabanku sama dengan fatwa putra anda," kata Zar'ah Al-Qas akhirnya.

"Ucapkanlah fatwamu," kata Abu Hanifah tegas.

Lalu Zar'ah Al-Qas pun memberikan fatwa. Bunyinya sama persis dengan apa yang telah diucapkan oleh Abu Hanifah. Ibu Abu Hanifah bernafas lega.

"Aku percaya kalau kau yang mengatakannya, " kata ibu Abu Hanifah puas. Padahal, sebetulnya fatwa dari Zar'ah Al-Qas itu hasil ijtihad (mencari dengan sungguh-sungguh) putranya sendiri, Abu Hanifah.

Dua hari kemudian, ibu Abu Hanifah menyuruh putranya pergi ke majelis Umar bin Zar. Lagi-lagi untuk menanyakan masalah agama. Dengan taat, Abu Hanifah mengikuti perintah ibunya. Padahal, ia sendiri dapat menjawab pertanyaan ibunya dengan mudah.

Umar bin Zar merasa aneh. Hanya untuk mengajukan pertanyaan ibunya, Abu Hanifah datang ke majelisnya.

"Tuan, Andalah ahlinya. Kenapa harus bertanya kepada saya?" kata Umar bin Zar.

Abu Hanifah tetap meminta fatwa Umar bin Zar sesuai permintaan ibunya.

"Yang pasti, hukum membantah orang tua adalah dosa besar," kata Abu Hanifah.

Umar bin Zar termangu. Ia begitu kagum akan ketaatan Abu Hanifah kepada ibunya.

"Baiklah, kalau begitu apa jawaban atas pertanyaan ibu Anda?"

Abu Hanifah memberikan keterangan yang diperlukan.

"Sekarang, sampaikanlah jawaban itu pada ibu anda. Jangan katakan kalau itu fatwa anda,"ucap Umar bin Zar sambil tersenyum.

Abu Hanifah pulang membawa fatwa Umar bin Zar yang sebetulnya jawabannya sendiri. Ibunya mempercayai apa yang diucapkan Umar bin Zar.

Hal seperti itu terjadi berulang-ulang. Ibunya sering menyuruh Abu Hanifah mendatangi majelis-majelis untuk menanyakan masalah agama. Abu Hanifah selalu menaati perintah ibunya. Ibunya tidak pernah mau mendengar fatwa dari Abu Hanifah meskipun beliau seorang ulama yang sangat pintar.

Sumber Kisah kisah teladan diambil ulang dari milis Mujiarto Karuk

10 Ciri Orang Berpikir & Bersikap Positif


Semua orang yang berusaha meningkatkan diri dan ilmu pengetahuannya pasti
tahu bahwa hidup kan lebih mudah dijalani bila kita selalu berpikir
positif. Tapi, bagaimana melatih diri supaya pikiran positiflah yang
'beredar' di kepala kita, tak banyak yang tahu. Oleh karena itu, sebaiknya
kita kenali saja dulu ciri-ciri orang yang berpikir positif dan mulai
mencoba meniru jalan pikirannya.

1. Melihat masalah sebagai tantangan
Bandingkan dengan orang yang melihat masalah sebagai cobaan hidup yang
terlalu berat dan bikin hidupnya jadi paling sengsara sedunia.

2. Menikmati hidupnya
Pemikiran positif akan membuat seseorang menerima keadaannya dengan besar
hati, meski tak berarti ia tak berusaha untuk mencapai hidup yang lebih
baik.

3. Pikiran terbuka untuk menerima saran dan ide
Karena dengan begitu, boleh jadi ada hal-hal baru yang akan membuat segala
sesuatu lebih baik.

4. Mengenyahkan pikiran negatif segera setelah pikiran itu terlintas di benak
Memelihara' pikiran negatif lama-lama bisa diibaratkan membangunkan singa
tidur. Sebetulnya tidak apa-apa, ternyata malah bisa menimbulkan masalah.

5. Mensyukuri apa yang dimilikinya
Dan bukannya berkeluh-kesah tentang apa-apa yang tidak dipunyainya.

6. Tidak mendengarkan gosip yang tak menentu
Sudah pasti, gosip berkawan baik dengan pikiran negatif. Karena itu,
mendengarkan omongan yang tak ada juntrungnya adalah perilaku yang dijauhi
si pemikir positif.

7. Tidak bikin alasan, tapi langsung bikin tindakan
Pernah dengar pelesetan NATO (No Action, Talk Only), kan? Nah, mereka ini
jelas bukan penganutnya. NARO (No Action Review Only), NADO (No Action
Dream Only), NATO (No Action Talk Only), NACO (No Action Concept Only),
NABO (No Action Briefing Only), NAMO (No Action Meeting Olny), NASO (No
Acton Strategy Only)

8. Menggunakan bahasa positif
Maksudnya, kalimat-kalimat yang bernadakan optimisme, seperti "Masalah itu
pasti akan terselesaikan, " dan "Dia memang berbakat."

9. Menggunakan bahasa tubuh yang positif
Di antaranya adalah senyum, berjalan dengan langkah tegap, dan gerakan
tangan yang ekspresif, atau anggukan. Mereka juga berbicara dengan
intonasi yang bersahabat, antusias, dan 'hidup'.

10. Peduli pada citra diri
Itu sebabnya, mereka berusaha tampil baik. Bukan hanya di luar, tapi juga
di dalam.

Seandainya setiap warga Indonesia memiliki sikap2 tersebut. Tidak hanya
menuntut orang untuk memahaminya, tetapi berusaha memahami orang lain. Dan
dengan sikap positif kita, lebih menghargai perbedaan. Pasti akan lebih
indah...

sumber milis dari Satria Dharma

PENDAKI




Seorang pendaki gunung sedang bersiap-siap melakukan perjalanan. Di punggungnya, ada ransel dan beragam carabiner (pengait). Tak lupa tali-temali tersusun melingkar di sela-sela bahunya. Pendakian kali ini cukup berat. Jadi, persiapannya harus lebih lengkap.Kini, di hadapan pendaki itu menjulang sebuah gunung yang tinggi. Puncaknya tak terlihat. Tertutup salju yang putih. Awan yang berarak di sekitarnya, membuat tak seorang pun tahu apa yang tersembunyi di sana.

Mulailah pendaki itu melangkah, menapaki jalan-jalan bersalju yang terbentang di hadapannya. Tongkat yang berkait disandangnya menancap setiap kali ia mengayunkan langkah.

Setelah berjam-jam berjalan, mulailah ia menghadapi dinding yang terjal. Tak mungkin baginya untuk terus melangkah. Dipersiapkannya tali-temali dan pengait di punggungnya. Tebing itu terlalu curam. Ia harus mendaki dengan tali-temali itu. Setelah beberapa kait ditancapkan, tiba-tiba terdengar gemuruh datang dari atas. Astaga, ada badai salju datang tanpa diundang!

Longsoran salju meluncur deras. Menimpa tubuh sang pendaki. Bongkah-bongkah salju yang mengeras, terus berjatuhan disertai deru angin yang membuat tubuhnya terhempas ke arah dinding.

Badai terus berlangsung selama beberapa menit. Namun, untunglah tali-temali dan pengait telah menyelamatkan tubuhnya dari dinding yang curam itu. Semua perlengkapannya hilang. Hanya tersisa sebilah pisau di pinggangnya. Sang pendaki itu tergantung terbalik di dinding terjal itu.

Pandangannya kabur. Semua tampak memutih. Ia tak tahu di mana berada. Sang pendaki cemas. Ia berkomat-kamit, memohon do’a kepada Tuhan agar diselamatkan dari bencana. Mulutnya terus bergumam, berharap ada pertolongan Tuhan datang padanya.

Suasana hening setelah badai. Di tengah kepanikan itu, terdengar suara dari hati kecilnya yang menyuruh melakukan sesuatu. ”Potong tali itu! Potong tali itu!” Terdengar senyap melintasi telinganya. Sang pendaki bingung, apakah ini perintah dari Tuhan? Apakah suara ini adalah pertolongan dari Tuhan? Tapi bagaimana

mungkin, memotong tali yang telah menyelamatkannya, sementara dinding ini begitu terjal? Pandanganku terhalang oleh salju ini, bagaimana aku bisa tahu?

Banyak sekali pertanyaan dalam dirinya. Lama ia ragu untuk mengambil keputusan. Lama. Ia tak mengambil keputusan apa-apa….

Beberapa minggu kemudian, seorang pendaki menemukan tubuh tergantung terbalik di sebuah dinding terjal. Tubuh itu beku. Tampaknya ia meninggal karena kedinginan. Sementara, batas tubuh itu dengan tanah hanya berjarak 1 meter saja!

Teman, mungkin kita akan berkata, betapa bodohnya pendaki itu karena tak mau menuruti kata hatinya. Kita mungkin akan menyesalkan tindakan pendaki itu yang tak mau memotong saja tali pengaitnya. Pendaki itu tentu akan selamat dengan membiarkan dirinya jatuh ke tanah yang hanya berjarak 1 meter saja. Ia tentu tak harus mati kedinginan.

Begitulah, kadang kita berpikir, mengapa Allah tampak tak melindungi hamba-Nya? Kita mungkin sering merasa, mengapa ada banyak sekali beban, masalah, hambatan yang kita hadapi dalam mendaki jalan kehidupan ini. Kita sering mendapati ada banyak sekali badai salju yang terus menghantam tubuh kita. Mengapa tak disediakan saja jalan lurus tanpa perlu kita menanjak agar kita terbebas dari semua halangan itu?

Namun, Teman, cobaan yang diberikan Allah buat kita adalah latihan. Hanya ujian. Kita adalah layaknya besi-besi yang ditempa. Kita adalah seperti pisau-pisau yang terus diasah. Sesungguhnya, di semua ujian dan latihan itu, tersimpan petunjuk. Ada tersembunyi tanda-tanda, asal KITA PERCAYA. Ya, asal kita percaya.

Seberapa besar rasa percaya kita kepada Allah sehingga mampu membuat kita memutuskan ”memotong tali pengait” saat tergantung terbalik? Seberapa besar rasa percaya kita kepada Allah hingga kita mau menyerahkan semua yang ada pada diri kita kepada-Nya?

Teman, percayalah, akan ada petunjuk-petunjuk Allah dalam setiap langkah kita menapaki jalan kehidupan ini. Carilah, gali, dan temukan rasa percaya itu dalam hatimu. Sebab, saat kita telah percaya, maka petunjuk itu akan datang dengan tanpa disangka.

Sumber: ”Kekuatan Cinta” 30 Nasihat Bagi Jiwa Perindu Nur Illahi, karya Irfan T. Herlambang.dikutip ulang dari milis al-irsyad Surabaya



Senin, 06 Juli 2009

LOMBA KREASI MODEL PEMBELAJARAN PAI TINGKAT NASIONAL 2009


PEDOMAN LOMBA KREASI MODEL PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM TINGKAT NASIONAL
UNTUK GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SD, SMP, & SMA / SMK

A.Latar Belakang
Pendidikan Agama di sekolah umum memiliki peran yang sangat urgen dalam pembinaan manusia Indonesia. UUD 1945 (Amandeman) Pasal 31 ayat (3) mengamanatkan bahwa “Tujuan Pendiddikan Nasional meningkatkan keimanan dan ketaqwaan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”. Bahkan tujuan pendidikan nasional tersebut dipertegas dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa Pendidikan Nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, beriman, cakap, kreatif, mandiri, dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Peningkatan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional tersebut perlu dirumuskan dalam program yang terpadu dan berkelanjutan. Guru Pendidikan Islam (GPAI) mempunyai peran yang sangat strategis dalam mengembangkan potensi yang dimiliki peserta didik agar dapat menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam. Dia juga figur yang utama dalam menanamkan nilai-nilai luhur ajaran agama Islam dalam kerangka pembentukan sikap dan watak, serta perilaku peserta didik melalui berbagai model pembelajaran yang dikembangkan di sekolah.
Penguasaan dan keterampilan dalam proses pembelajaran sepatutnya dimiliki GPAI agar proses pembelajaran dapat berlangsung secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan pembelajaran. Untuk itu perlu ada upaya agar GPAI dapat meningkatkan kemampuan dan pengayaan keterampilan dalam menjalankan proses pembelajaran kepada peserta didik. GPAI perlu didorong dan dirangsang kreatifitasnya untuk senantiasa melakukan pengembangan kemampuan dan keterampilan dalam melaksanakan proses pembelajaran.
Berdasarkan pemikiran tersebut di atas, Direktorat Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah pada tahun 2009 ini akan menyelenggarakan Lomba Kreasi Model Pembelajaran Pendidikan Agama Islam GPAI Tingkat SD, SMP, dan SMA/SMK Negeri dan Swasta.

B.Pengertian
Lomba Kreasi Model Pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang dimaksud adalah gambaran dari model pembelajaran yang menyenangkan (joyful learning), interaktif, serta lebih memfungsikan peserta didik dalam aktifitas pembelajaran.

C.Tujuan
Secara rinci tujuan dari kegiatan Lomba Kreasi Model Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah adalah :
1.Memberikan motivasi kepada GPAI agar senantiasa berupaya meningkatkan mutu pembelajaran Pendidikan Agama Islam melalui pengembangan berbagai model pembelajaran.
2.Memberikan penghargaan terhadap GPAI yang dinilai memiliki kompetensi dalam pengembangan berbagai model pembelajaran.
3.Meningkatkan mutu pembinaan terhadap GPAI yang dilakukan melalui pendekatan partisipatif.
D.Target
1.Tumbuhnya motivasi yang tinggi pada GPAI untuk senantiasa berupaya meningkatkan mutu pembelajaran Pendidikan Agama Islam melalui pengembangan berbagai model pembelajaran.
2.Terjaringnya berbagai model pembelajaran Pendidikan Agama Islam pada SD, SMP, dan SMA / SMK, yang merupakan kreasi GPAI.
3.
Terjadinya peningkatan mutu pembinaan terhadap guru-guru Pendidikan Agama Islam yang dilakukan melalui pendekatan partisipatif.

E.Peserta Lomba
Peserta lomba Kreasi Model Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Tingkat Nasional Tahun 2009 adalah guru PAI pada SD, SMP, dan SMA / SMK, baik negeri maupun swasta.

F.Persyaratan Peserta
a.Bersatus guru Pendidikan Agama Islam (PAI) pada SD, SMP, SMA / SMK, yang dibuktikan dengan Surat Keterangan dari Kepala Sekolah.
b.Belum pernah menjadi juara tingkat nasional pada lomba serupa.

G.Tahapan Lomba
Lomba Kreasi Model Pembelajaran PAI pada SD, SMP, dan SMA / SMK dilaksanakan dalam beberapa tahapan, meliputi :
1.Tahap I Penilaian Naskah
Setiap naskah akan dinilai berdasarkan kriteria penilaian yang ditetapkan. Penilaian naskah dilaksanakan di masing-masing Kanwil Departemen Agama Provinsi. Melalui tahapan ini, ditetapkan 1 (satu) orang peserta terbaik pada masing-masing tingkatan dan berkah mengikuti Grand Final di Jakarta.
2.Grand Final
Acara Grand Final Lomba Kreasi Model Pembelajaran dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 11-15 Agustus 2009 diikuti oleh peserta terbaik dari masing-masing provinsi. Seluruh biaya lomba acara Grand Final termasuk transportasi dan akomodasi peserta menjadi tanggung jawab panitia pusat. Setiap peserta akan tampil dalam 2 (dua) tahapan yakni :
a.Presentasi Naskah
Setiap peserta wajib mempresentasikan naskah lomba di depan Tim Juri. Setelah presentasi, Tim Juri akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan desain pembelajaran yang ditulis dan harus di jawab oleh peserta.
b.Simulasi Pembelajaran
Tahap selanjutnya setiap peserta melakukan simulasi pembelajaran di depan kelas (Panitia menyiapkan sejumlah 25 orang siswa). Pada tahap ini peserta mengaplikasikan langsung model pembelajaran yang lebih menekankan pada keaktifan siswa dan pembelajaran yang menyenangkan (joyful learning).

H.Naskah
1.Kriteria Naskah
Naskah Desain Pembelajaran PAI disusun secara naratif oleh guru yang bersangkutan dengan memperhatikan :
A.Materi didasarkan pada Standar Isi PAI (Permendiknas) No. 22 Tahun 2006;
B.Menggunakan langkah-langkah pembelajaran yang terfokus pada keaktifan peserta didik;
C.Menampilkan pola interkatif antara guru dan peserta didik;
D.Menggunakan alat peraga dan media pembelajaran;
E.Model pembelajaran telah diaplikasikan di sekolah.

2. Sistematika Penulisan Naskah
Naskah tertulis yang diketik di atas kertas kuarto jarak baris 1,5 spasi dengan sistematika, sebagai berikut :
a.Daftar Isi;
b.Pendahuluan (Latar Belakang, permasalahan, manfaat);
c.Nama Model Kreasi Pembelajaran;
d.Tujuan Pembelajaran;
e.Alat peraga dan media pembelajaran yang digunakan;
f.Standar Kompetensi / Kompetensi Dasar;
g.Langkah-langkah pembelajaran;
h.Menyertakan data pendukung, antara lain:
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Tanggapan peserta didik.
Hasil belajar peserta didik;
Lain-lain informasi pendukung yang dianggap perlu.

I.Pengiriman Naskah
1.Naskah dikirim ke Kanwil Departemen Agama Provinsi setempat dalam bentuk asli (bukan foto copy) rangkap 2 (dua) ke bidang Mapenda, dengan Alamat Kanwil Depag Provinsi setempat, selambat-lambatnya tanggal 15 Juli 2009 (cap pos).
2.Bidang Mapenda Kanwil Depag Provinsi mengirimkan naskah terbaik masing-masing tingkatan, yakni : 1 (satu) naskah terbaik SD, 1 (satu) naskah terbaik SMP, dan 1 (satu) naskah terbaik SMA / SMK ke Panitia Pusat selammbat-lambatnya tanggal 1 Agustus 2009 dengan alamat : Panitia Lomba Kreasi Model Pembelajaran PAI Pada Sekolah Tahun 2009, Direktorat Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah Ditjen Pendidikan Islam Direktorat Pendidikan Islam Departemen Agama RI, Jalan Lapangan Banteng Barat 3-4 Blok A Lt. 7 Jakarta Pusat.
3.Naskah yang dikirimkan ke Panitia Pusat tidak dikembalikan lagi dan menjadi milik panitia.

J.Kriteria Penilaian
1. Penilaian Naskah (dilaksanakan di Kanwil Depag Provinsi)
a.Sistematika Penulisan
b.Kesesuaian materi dengan judul
c.Kesesuaian dan keragaman metode pembelajaran
d.Strategi dan langkah pembelajaran
e.Kekayaan materi / bahan ajar
f.Penggunaan alat peraga dan media pembelajaran
g.Ketepatan penulisan dan penggunaan ayat Al-Quran dan Hadist
h.Penggunaan bahasa
i.Data dan informasi pendukung

2. Penilaian Presentasi (Grand Final di Jakarta)
a. Penampilan
b. Kesesuaian penyajian materi dengan naskah
c. Penguasaan konsep
d. Penggunaan media
e. Penggunaan bahasa
f. Data dan informasi pendukung
g. Sistematika penyajian
h. Relevansi jawaban pertanyaan Tim Juri.

3. Penilaian Simulasi Pembelajaran (Grand Final di Jakarta)
a. Penampilan
b. Penguasaan materi pembelajaran
c. Langkah-langkah pembelajaran
d. Penggunaan metode
e. Penggunaan alat peraga dan media pembelajaran
f. Pengelolaan kelas
g. Keaktifan peserta didik
h. Pembelajaran yang menyenangkan
j. Interaksi dalam pembelajaran
K.Penghargaan Pemenang
Pemenang Lomba Kreasi Model Pembelajaran PAI pada SD, SMP, SMA / SMK Tahun 2009 ini akan diberikan hadiah berupa piagam / sertifikat penghargaan dan uang pembinaan tunai yang masing-masing besarnya sebagai berikut :
1.Juara I menerima uang sebesar Rp. 16.000.000,-
2.juara II menerima uang sebesar Rp. 13.000.000,-
3.Juara III menerima uang sebesar Rp. 10.000.000,-
4.Harapan I menerima uang sebesar Rp. 5.000.000,-
5.Harapan II menerima uang sebesar Rp. 3.500.000,-
6.Harapan III menerima uang sebesar Rp. 2.500.000,-
Pajak hadiah ditanggung pemenang

L.Output
Sesuai dengan tujuan yang ditetapkan, Lomba Kreasi Model Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Tahun 2009 ini diharapkan dapat menentukan 6 orang guru PAI pada setiap tingkatan (SD, SMP, dan SMA / SMK) sebagai juara lomba yang didasarkan pada kriteria yang telah ditetapkan. Pelaksanaan lomba ini juga diharapkan mampu memotivasi para guru PAI di seluruh Indonesia untuk meningkatkan keterampilan dalam pengembangan berbagai model pembelajaran PAI.
Panduan Bagi Bidang Mapenda Kanwil Departemen Agama Provinsi
1.Mensosialisasikan kegiatan Lomba Kreasi Model Pembelajaran Pendidikan Agama Islam tingkat SD, SMP, dan SMA / SMK
2.Menhimpun naskah dari peserta lomba Kreasi Model Pembelajaran Pendidikan Agama Islam untuk semua tingkatan (SD, SMP, dan SMA / SMK) selambat-lambatnya tanggal 15 Juli 2009.
3.Melakukan seleksi terhadap naskah yang masuk dari masing-masing tingkatan dengan cara :
a.Menbentuk Tim Juri / penilai naskah yang berjumlah 3 (tiga) orang terdiri dari akademisi, praktisi dan ahli pembelajaran PAI.
b.Menilai semua naskah lomba berdasarkan kriteria penilaian naskah yang ditetapkan oleh Panitia Pusat.
c.Menetapkan naskah terbaik tingkat provinsi pada masing-masing tingkat SD, SMP, SMA / SMK kepada Panitia Lomba Kreasi Model Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Subdit Kurikulum dan Evaluasi Direktorat Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Ditjen Pendidikan Islam Departemen Agama RI, dengan alamat Jl. Lapangan Banteng Barat No. 3-4 Jakarta Pusat, selambat-lambatnya tanggal 1 Agustus 2009.
Hal-hal lain yang belum tercantum dalam panduan ini dapat dikomunikasikan lebih lanjut dengan Panitia Pusat dengan kontak person : Hj. Siti Fauziah, SE,.M.Si
(081317142458), Dr. Halfian Lubis, MA (08121845584) dan Dr. H. Abd. Adhim, MA (081386121219).


Minggu, 05 Juli 2009

CANGKIR YANG CANTIK




Sepasang opa dan oma pergi belanja di sebuah toko suvenir untuk mencari hadiah buat cucu mereka. Kemudian mata mereka tertuju kepada sebuah cangkir yang cantik “Lihat cangkir itu,” kata si oma kepada suaminya. “Kau benar, inilah cangkir tercantik yang pernah aku lihat,” ujar si opa.

Saat mereka mendekati cangkir itu, tiba-tiba cangkir yang dimaksud berbicara
“Terima kasih untuk perhatiannya, perlu diketahui bahwa aku dulunya
tidak cantik. Sebelum menjadi cangkir yang dikagumi, aku hanyalah
seonggok tanah liat yang tidak berguna. Namun suatu hari ada seorang
penjunan dengan tangan kotor melempar aku ke sebuah roda berputar…
Kemudian ia mulai memutar-mutar aku hingga aku merasa pusing. Stop !
Stop ! Aku berteriak, Tetapi orang itu berkata “belum !” lalu ia mulai
menyodok dan meninjuku berulang-ulang. Stop ! Stop ! teriakku lagi.
Tapi orang ini masih saja meninjuku, tanpa menghiraukan teriakanku.
Bahkan lebih buruk lagi ia memasukkan aku ke dalam perapian. Panas !
Panas ! Teriakku dengan keras. Stop ! Cukup ! Teriakku lagi.

Tapi orang ini berkata “belum !” Akhirnya ia mengangkat aku dari perapian
itu dan membiarkan aku sampai dingin. Aku pikir, selesailah
penderitaanku. Oh ternyata belum. Setelah dingin aku diberikan kepada
seorang wanita muda dan dan ia mulai mewarnai aku. Asapnya begitu
memualkan. Stop ! Stop ! Aku berteriak. Wanita itu berkata “belum !”
Lalu ia memberikan aku kepada seorang pria dan ia memasukkan aku lagi
ke perapian yang lebih panas dari sebelumnya ! Tolong ! Hentikan
penyiksaan ini ! Sambil menangis aku berteriak sekuat-kuatnya. Tapi
orang ini tidak peduli dengan teriakanku. Ia terus membakarku.

Setelah puas “menyiksaku” kini aku dibiarkan dingin. Setelah benar-benar dingin seorang wanita cantik mengangkatku dan menempatkan aku dekat kaca. Aku melihat diriku. Aku terkejut sekali. Aku hampir tidak percaya, karena
di hadapanku berdiri sebuah cangkir yang begitu cantik. Semua kesakitan
dan penderitaanku yang lalu menjadi sirna tatkala kulihat diriku.

Saudara, seperti inilah Allah membentuk kita. Pada saat Ia membentuk kita,
tidaklah menyenangkan, sakit, penuh penderitaan, dan banyak air mata..
Tetapi inilah satu-satunya cara bagi Allah untuk mengubah kita supaya
menjadi cantik dan memancarkan kemuliaan Allah.

“Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai pencobaan, sebab kamu tahu bahwa UJIAN terhadap IMANMU menghasilkan KETEKUNAN. Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang supaya kamu MENJADI SEMPURNA dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun.

” Apabila anda sedang menghadapi ujian hidup, jangan kecil hati, karena Allah sedang membentuk anda. Bentukan -
bentukan ini memang menyakitkan tetapi setelah semua proses itu
selesai. Anda akan melihat betapa cantiknya Allah membentuk anda.

{sumber : milist}
RAHMADSYAH


BELAJAR DARI ANNE COLLINS TENTANG MAKNA HIDUP


Hidayatullah. com--Saya dibesarkan dalam sebuah keluarga Kristen yang taat. Saat itu, orang Amerika lebih religius dibandingkan masa sekarang--contohnya , sebagian besar keluarga pergi ke gereja setiap Minggu. Orang tua saya ikut dalam komunitas gereja. Kami sering mendatangkan pendeta ke rumah. Ibu saya mengajar di sekolah minggu, dan saya membantunya

Pastinya saya lebih relijius dibandingkan anak-anak lainnya, meskipun saya tidak merasa seperti itu dulu. Satu saat ketika ulang tahun, bibi saya memberi hadiah sebuah Bibel, dan untuk saudara perempuan saya ia memberi sebuah boneka. Lain waktu saya minta dibelikan buku doa kepada orang tua, dan saya membacanya setiap hari selama beberapa tahun.

Ketika saya SMP, saya mengikuti program belajar Bibel selama dua tahun. Ketika itu saya sudah mengkaji sebagian dari Bibel, meskipun demikian saya belum memahaminya dengan baik. Kemudian saya mendapat kesempatan mempelajarinya lebih dalam. Sayangnya, kami belajar banyak petikan di dalam Perjanjian Lama dan Baru yang tak dapat dipahami, bahkan terasa aneh.

Sebagai contoh, Bibel mengajarkan tentang adanya dosa awal, yang artinya semua manusia dilahirkan dalam keadaan berdosa. Saya punya adik bayi, dan saya tahu ia tidak berdosa. Bibel mengandung banyak cerita aneh dan sangat meresahkan, misalnya cerita tentang nabi Ibrahim dan Daud. Saya tak dapat mengerti bagaimana mungkin para nabi bisa mempunyai kelakuan seperti yang diceritakan dalam Bibel. Ada banyak hal lain dalam Bibel yang membingungkan saya, tapi saya tidak mempertanyakannya. Saya terlalu takut untuk bertanya saya ingin dikenal sebagai "gadis baik".

Alhamdulillah, akhirnya ada seorang anak laki-laki yang bertanya, dan ia terus bertanya. Bocah itu banyak bertanya tentang trinitas. Ia mendapatkan banyak jawaban tapi tidak pernah puas. Sama seperti saya. Akhirnya guru kami, seorang profesor teologi dari Universitas Michigan , menyuruh untuk berdoa minta keteguhan iman. Saya pun berdoa.

Hal yang paling penting adalah tentang trinitas.


Saya tidak bisa memahaminya. Bagaimana bisa Tuhan terdiri dari tiga bagian, yang salah satunya adalah manusia? Di sekolah saya juga belajar mitologi Yunani dan Romawi, sehingga menurut saya pemikiran tentang trinitas dan orang suci seperti pemikiran budaya Yunani dan Romawi yang mengenal banyak dewa, yang masing-masing bertanggung jawab atas aspek kehidupan yang berbeda (astagfirullah!).

Ketika SMA diam-diam saya ingin menjadi seorang biarawati. Saya tertarik untuk melakukan peribadatan setiap harinya, tertarik kehidupan yang sepenuhnya dipersembahkan untuk Tuhan, dan menunjukkan sebuah gaya hidup yang relijius. Halangan atas ambisi ini hanya satu: saya bukan seorang Katolik. Saya tinggal di sebuah kota di wilayah Midwestern, di mana Katolik merupakan minoritas yang tidak populer.

Saya bertemu seorang Muslim dari Libya . Ia menceritakan saya sedikit tentang Islam dan Al-Quran. Ia bilang Islam itu modern, agama samawi yang paling up-to-date. Karena saya menganggap Afrika dan Timur Tengah itu terbelakang, maka saya tidak bisa melihat Islam sebagai sesuatu yang modern.

Keluarga saya mengajaknya ke acara Natal di gereja. Bagi saya acara itu sangat menyentuh dan berkesan. Tapi diakhir acara ia bertanya, "Siapa yang membuat aturan peribadatan seperti itu? Siapa yang mengajarkanmu kapan harus berdiri, membungkuk dan berlutut? Siapa yang mengajarimu cara beribadah?"

Saya menceritakan kepadanya sejarah awal gereja. Awalnya pertanyaannya itu sangat membuat saya marah, tapi kemudian saya jadi berpikir. Apakah orang-orang yang membuat tata cara peribadatan itu benar-benar punya kualifikasi untuk melakukannya? Bagaimana mereka bisa tahu bagaimana peribadatan itu harus dilakukan? Apakah mereka dapat wahyu tentang itu?

Saya sadar jika saya tidak mempercayai banyak ajaran Kristen, namun saya tetap pergi ke gereja. Ketika kredo Nicene dibacakan bersama-sama, saya hanya diam, saya tidak turut membacanya. Saya seperti orang asing di gereja.

Ada kejadian yang sangat mengejutkan. Seseorang yang sangat dekat dengan saya mengalami masalah dalam rumah tangganya. Ia pergi ke gereja untuk meminta nasihat. Orang dari gereja itu justru memanfaatkan kesusahan dan penderitaannya. Laki-laki itu mengajaknya ke sebuah motel dan kemudian merayunya.

Sebelumnya saya tidak memperhatikan benar apa peran rahib dalam gereja. Sejak peristiwa itu saya jadi memperhatikannya. Sebagian besar umat Kristen percaya bahwa pengampunan harus lewat sebuah acara peribadatan suci yang dipimpin oleh seorang pendeta. Tidak ada pendeta, tidak ada pengampunan.

Saya mengunjungi gereja, duduk, dan memperhatikan pendeta yang ada di depan. Mereka tidak lebih baik dari umat yang datang--sebagian di antaranya bahkan lebih buruk. Jadi bagaimana bisa seorang manusia biasa, diperlukan sebagai perantara untuk berkomunikasi dengan Tuhan? Mengapa saya tidak bisa berhubungan langsung dengan Tuhan, dan langsung menerima pengampunannya?

Tak lama setelah itu, saya mendapati terjemahan Al-Qur'an di sebuah toko buku. Saya lalu membeli dan membacanya, dan terus membaca, walau kadang terputus, selama delapan tahun. Selama itu saya juga mencari tahu tentang agama lain.

Saya semakin khawatir dan takut dengan dosa-dosa saya. Bagaimana saya tahu Tuhan akan memafkan dosa-dosa saya? Saya tidak lagi percaya dengan metode pengampunan ala Kristen akan berhasil. Beban-beban dosa begitu berat bagi saya, dan saya tidak tahu bagaimana membebaskan diri darinya. Saya sangat mengharapkan ampunan.

Membaca Al-Quran

Suatu kali, aku membaca Al-Quran yang bunyinya: Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang beriman ialah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya kami ini orang Nasrani." Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu ada rahib-rahib, juga sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri. Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al-Quran) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah beriman maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al-Quran dan kenabian Muhammad S.A.W). Mengapa kami tidak akan beriman kepada Allah dan kepada kebenaran yang datang kepada kami, padahal kami sangat ingin agar Tuhan kami memasukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang saleh? [Al-Maidah: 82-84]

Saya mulai berharap bahwa Islam mempunyai jawabannya. Tapi bagaimana cara saya mencari tahu? Dalam berita di televisi saya melihat Muslim beribadat. Mereka punya cara tertentu untuk berdo'a. Saya menemukan sebuah buku--yang ditulis oleh non-Muslim-- yang menjelaskan cara beribadah orang Islam. Kemudian saya mencoba melakukannya sendiri. Kala itu saya tidak tahu tentang taharah dan saya shalat dengan cara yang keliru. Saya terus berdoa dengan cara itu selama beberapa tahun.

Akhirnya kira-kira 8 tahun sejak pertama kali saya membeli terjemahan Al-Quran dulu, saya membaca: "Pada hari ini telah ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu." [Al- Maidah: 3]

Saya menangis bahagia, karena saya tahu, jauh sebelum bumi diciptakan, Allah telah menuliskan bahwa Al-Quran ini untuk saya. Allah mengetahui bahwa Anne Collins di Cheektowaga, New York , AS, akan membaca ayat ini pada bulan Mei 1986.

Saya tahu banyak hal yang perlu dipelajari, seperti bagaimana cara shalat yang benar, sesuatu yang tidak dijelaskan secara rinci dalam Al-Quran. Masalahnya saya tidak kenal seorang Muslim satu pun.

Sekarang ini Muslim relatif mudah dijumpai di AS. Dulu saya tidak tahu di mana bisa bertemu mereka. Saya mendapatkan nomor telepon sebuah komunitas Muslim dari buku telepon. Saya lalu coba menghubunginya. Seorang laki-laki menjawab di seberang sana , saya panik lalu mematikan telepon. Apa yang akan saya katakan padanya? Bagaimana mereka akan menjawab pertanyaan saya? Apakah mereka akan curiga? Akankah mereka menerima saya, sementara mereka sudah saling memiliki dalam Islam?

Beberapa bulan kemudian saya kembali menelepon masjid itu berkali-kali. Dan setiap kali saya panik, saya menutupnya. Akhirnya, saya menulis sebuah surat , isinya meminta informasi. Seorang ikhwan dari masjid itu menelepon saya dan kemudian mengirimi saya selebaran tentang Islam. Saya katakan padanya bahwa saya ingin masuk Islam. Tapi ia berkata pada saya, "Tunggu hingga kamu yakin."

Jawabannya agar saya menunggu membuat saya kesal. Tapi saya sadar, ia benar. Saya harus yakin, sebab sekali menerima Islam, maka segala sesuatunya tidak akan pernah lagi sama.

Saya jadi terobsesi dengan Islam. Saya memikirkannya siang dan malam. Dalam beberapa kesempatan, saya mengendarai mobil menuju ke masjid (saat itu masjidnya berupa sebuah rumah yang dialihfungsikan menjadi masjid). Saya berputar mengelilinginya beberapa kali sambil berharap akan melihat seorang Muslim, dan penasaran seperti apa keadaan di dalam masjid itu.

Satu hari di awal Nopember 1986, ketika saya memasak di dapur, sekonyong-konyong saya merasa jika saya sudah menjadi seorang Muslim. Masih takut-takut, saya mengirim surat lagi ke masjid itu. Saya menulis: Saya percaya pada Allah, Allah yang Maha Esa, saya percaya bahwa Muhammad adalah utusan-Nya, dan saya ingin tercatat sebagai orang yang bersaksi atasnya.

Ikhwan dari masjid itu menelepon saya keesokan harinya, dan saya mengucapkan syahadat melalui telepon itu. Ia berkata bahwa Allah telah mengampuni semua dosa saya saat itu juga, dan saya seperti layaknya seorang bayi yang baru lahir.

Saya merasa beban dosa-dosa menyingkir dari pundak. Dan saya menangis karena bahagia. Saya hanya sedikit tidur malam itu. Saya menangis, mengulang-ulang menyebut nama Allah. Ampunan yang saya cari telah didapat. Alhamdulillah.



Kamis, 02 Juli 2009

BERGURU KEPADA PENDIDIKAN JEPANG DAN AMERIKA




Jepang membuat kejutan baru. Kali ini berkaitan dengan sistem dan prestasi di bidang pendidikan. Banyak pengamat pendidikan dan pembangunan di Amerika Serikat melihat bagaimana sistem pendidikan di Jepang telah berhasil mencetak tenaga kerja dengan semangat, motivasi dan watak yang "pas" bagi pembangunan. Sebagai suatu masyarakat yang sepenuhnya mengakui peran pendidikan dalam pembangunan, para ahli di A.S. mulai menengok sistem pendidikan di Jepang, sekaligus mengevaluasi sistem pendidikan di,A.S. sendiri. Maka dibentuklah team Jepang dan A.S. yang bertugas untuk mengevaluasi pertemuan antara Reagan dan Nakasone pada tahun 1983. Pada tanggal 4 Januari tahun 1987, secara serentak di kedua lbu Kota negara diumumkan hasil kerja team tersebut.

Amerika Serikat mengumumkan 128 halaman laporan yang oleh seorang pejabat di kantor pendidikan di Washington disebut sebagai suatu potret sistem pendidikan yang canggih. Dalam laporan tersebut, sebagaimana dikutip oleh Newsweek, 12 Januari 1987, dikemukakan bahwa murid-murid di Jepang diperkirakan mempunyai IQ yang tinggi, buta huruf sudah tidak dikenal lagi. Di samping itu berdasarkan tes yang telah distandardisir secara internasional ternyata murid-murid SMA di Jepang memiliki skore di bidang matematik dan sain lebih tinggi dari pada murid-murid SMA di A.S. Tambahan lagi, peelitian ini mempertebal keyakinan para pengamat bahwa pendidikan di Jepang telah memainkan peran yang penting dan sangat menentukan dalam pembangunan ekonomi negara pada dua puluh lima tahun terakhir ini.

A. Antara Menghafal dan Berfikir

Dimana letak kehebatan sistem pendidikan di Jepang ? Para ahli dan pengamat pendidikan boleh kecewa. Ternyata sistem pendidikan Jepang, kalau dilihat dengan kacamata teori pendidikan barat, bisa dikategorikan sebagai suatu sistem pendidikan tradisional. Pemerintah pusat memegang kontrol pendidikan, termasuk menentukan kurikulum yang berlaku secara nasional baik bagi sekolah negeri ataupun sekolah swasta. Pengajaran menekankan hafalan dan daya ingat untuk menguasai materi pelajaran yang diberikan. Materi pelajaran diarahkan agar murid bisa lulus ujian akhir atau test masuk ke sekolah lebih tinggi, tidak mengembangkan daya kritis dan kemandirian murid. Semua murid diperlakukan sama, tidak ada treatment khusus untuk murid yang tertinggal.

Sekolah menekankan pada diri murid sikap hormat dan patuh kepada guru dan sekolah. Dengan singkat sistem pendidikan Jepang dapat dikatakan suatu sistem pendidikan yang "kaku, seragam dan tiada pilihan bagi anak didik". Di fihak lain, sebanyak 78 halaman laporan team Jepang antara lain menyatakan pujiannya atas fleksibilitas sistem pendidikan Amerika Serikat. Di samping itu, juga disebut dan bahwa meski anak didik di Jepang memiliki prestasi lebih tinggi dari pada prestasi anak Amerika, namun hal itu dicapai dengan pengorbanan yang tidak ringan. Antara lain murid-murid di Jepang tidak bisa "menikmati" enaknya sekolah.
Sebab dari waktu ke waktu anak didik di Jepang dikejar-kejar oleh pekerjaan rumah, ulangan dan ujian. Hasilnya murid-murid Amerika lebih independent dan innovative dalam berfikir, dan juga sudah barang tentu lebih bahagia dibandingkan dengan anak-anak didik di Jepang. Namun demikian, kuranglah tepat kalau secara tegas ditarik kesimpulan bahwa sistem pendidikan yang menekankan disiplin dan hafalan serta daya ingat sebagaimana yang diterapkan di Jepang lebih hebat dari pada sistem pendidikan yang menekankan kebebasan, kemandirian dan kreatifitas individual sebagaimana yang diterapkan di Amerika Serikat.

Dibalik sistem pendidikan di Jepang yang kaku dan seragam tersebut sebenarnya ada beberapa hal yang patut dicatat. Pertama, dengan menegakkan disiplin patuh terhadap guru dan sekolah menyebabkan anak didik di Jepang secara riil menggunakan waktu sekolah lebih besar dari pada anak-anak sekolah di Amerika Serikat. Kedua, sistem pendidikan di Jepang telah berhasil melibatkan orang tua anak didik dalam pendidikan anak-anaknya. lbu, khususnya senantiasa memperhatikan, memberikan pengawasan dan bantuan belajar kepada anak-anaknya. Tambahan lagi, lbu-ibu ini terus secara berkesinambungan membuat kontak dengan para guru. Ketiga, di luar sekolah berkembang kursus-kursus yang membantu anak didik untuk mempersiapkan ujian atau mendalami mata pelajaran yang dirasa kurang. Keempat, status guru dihargai dan gaji guru relatif tinggi. Hal ini mengakibatkan pekerjaan guru mempunyai daya tarik.

Di fihak lain, pendidikan di Amerika tidaklah sebagaimana digambarkan orang, dimana anak didik mempunyai kesempatan yang luas untuk mengembangkan kreatifitasnya. Penelitian nasional yang dilakukan oleh Goodlad yang kemudian diterbitkan menjadi buku yang berjudul "A Place called school" ternyata menunjukkan sesuatu yang lain. Antara lain disebutkan ternyata hanya sekitar 5 % dari waktu jam pelajaran yang digunakan untuk berdiskusi. Sebagian besar waktu, sekitar 25 % untuk mendengarkan keterangan guru, sekitar 17 % waktu untuk mencatat dan sisa waktu yang lain untuk praktek, mempersiapkan pekerjaan dan test. Jadi dengan kata lain, sistem pendidikan di Amerika tidak sepenuhnya berjalan sebagaimana dicita-citakan para ahli.

B. Kiblat Pendidikan


Membaca laporan kedua team di atas, setidak-tidaknya memberikan nuansa baru. Yakni bahwa sistem pendidikan untuk suatu bangsa harus sesuai dengan falsafah dan budayanya sendiri. Mengambil alih suatu sistem atau gagasan dibidang pendidikan dari bangsa lain harus dikaji penerapannya dengan latar belakang budaya yang ada. Sebagai contoh, sekarang ini dunia pendidikan Indonesia sedang dilanda semangat untuk mengetrapkan sistem pengajaran yang menekankan "proses", dengan metode pengajaran yang disebut "Inquiry Teaching Method". Metode ini sangat ampuh untuk meningkatkan critical thinking anak didik. Tapi dalam praktek metode ini sulit untuk bisa diterapkan di kelas kelas di Indonesia. Mengapa ? Sebab metode ini menuntut adanya suasana yang bebas di kelas dan anak didik memiliki semangat untuk mencari kebenaran dan keberanian untuk mengutarakan gagasannya. Dan hal ini yang belum dimiliki oleh kelas-kelas dinegara kita. Oleh karena itu gagasan menerapkan metode inquiry perlu didahului mengembangkan kondisi-kondisi yang diperlukan. Misalnya dengan mulai menerapkan di tingkat sekolah dasar kelas satu. Atau, malahan sebaliknya, lebih baik memantapkan pelaksanaan pengajaran dengan metode yang sudah dikenal tetapi sebenarnya belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. Sebagaimana yang pernah penulis temui pada suatu pertemuan dengan guru-guru sekolah menengah yang menyatakan "Apakah tidak sebaiknya kita mencoba untuk mengembangkan bagaimana cara mengajarkan dengan metode ceramah yang efektif, dari pada menggunakan metode baru yang masih sangat asing ?" Nampaknya, kiblat pendidikan tidak hanya Amerika Serikat, kita perlu berkiblat juga ke Jepang dalam rangka menyusun dan mengembangkan sistem pendidikan yang cocok dengan falsafah dan budaya Indonesia.

rujukan; www.untang-sby.ac.id

MEMPERTANYAKAN PERANAN PENDIDIKAN BAGI MASYARAKAT


Pembangunan merupakan proses yang berkesinambungan yang mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk aspek sosial, ekonomi, politik dan kultural, dengan tujuan utama meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara keseluruhan. Dalam proses pembangunan tersebut peranan pendidikan amatlah strategis.

John C. Bock, dalam Education and Development A Conflict Meaning (1992), mengidentifikasi peran pendidikan tersebut sebagai : a) memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural bangsa, b) mempersiapkan tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, dan mendorong perubahan sosial, dan c) untuk meratakan kesempatan dan pendapatan. Peran yang pertama merupakan fungsi politik pendidikan dan dua peran yang lain merupakan fungsi ekonomi.

Berkaitan dengan peranan pendidikan dalam pembangunan nasional muncul dua paradigma yang menjadi kiblat bagi pengambil kebijakan dalam pengembangan kebijakan pendidikan: Paradigma Fungsional dan paradigma Sosialisasi. Paradigma fungsional melihat bahwa keterbelakangan dan kemiskinan dikarenakan masyarakat tidak mempunyai cukup penduduk yang memiliki pengetahuan, kemampuan dan sikap modern. Menurut pengalaman masyarakat di Barat, lembaga pendidikan formal sistem persekolahan merupakan lembaga utama mengembangkan pengetahuan, melatih kemampuan dan keahlian, dan menanamkan sikap modern para individu yang diperlukan dalam proses pembangunan. Bukti-bukti menunjukkan adanya kaitan yang erat antara pendidikan formal seseorang dan partisipasinya dalam pembangunan. Perkembangan lebih lanjut muncul, tesis Human lnvestmen, yang menyatakan bahwa investasi dalam diri manusia lebih menguntungkan, memiliki economic rate of return yang lebih tinggi dibandingkan dengan investasi dalam bidang fisik.

Sejalan dengan paradigma Fungsional, paradigma Sosialisasi melihat peranan pendidikan dalam pembangunan adalah: a) mengembangkan kompetensi individu, b) kompetensi yang lebih tinggi tersebut diperlukan untuk meningkatkan produktivitas, dan c) secara urnum, meningkatkan kemampuan warga masyarakat dan semakin banyaknya warga masyarakat yang memiliki kemampuan akan meningkatkan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, berdasarkan paradigma sosialisasi ini, pendidikan harus diperluas secara besar-besaran dan menyeluruh, kalau suatu bangsa menginginkan kemajuan.

Paradigma Fungsional dan paradigma Sosialisasi telah melahirkan pengaruh besar dalam dunia pendidikan paling tidak dalam dua hal. Pertama, telah melahirkan paradigma pendidikan yang bersifat analis-mekanistis dengan mendasarkan pada doktrin reduksionisme dan mekanistik. Reduksionisme melihat pendidikan sebagai barang yang dapat dipecah-pecah dan dipisah-pisah satu dengan yang lain. Meka Fns melihat bahwa pecahan-pecahan atau bagian-bagian tersebut memiliki keterkaitan linier fungsional, satu bagian menentukan bagian yang lain secara langsung. Akibatnya, pendidikan telah direduksi sedemikian rupa ke dalam serpihan-serpihan kecil yang satu dengan yang lain menjadi terpisah tiada hubungan, seperti, kurikulum, kredit SKS, pokok bahasan, program pengayaan, seragam, pekerjaan rumah dan latihan-latihan. Suatu sistem penilaian telah dikembangkan untuk menyesuaikan dengan serpihan-serpihan tersebut: nilai, indeks prestasi, ranking, rata-rata nilai, kepatuhan, ijazah.

Paradigma pendidikan lnput-Proses-Output, telah menjadikan sekolah bagaikan proses produksi. Murid diperlakukan bagaikan raw-input dalam suatu pabrik. Guru, kurikulum, dan fasilitas diperlakukan sebagai instrumental input. Jika raw-input dan instrumental input baik, maka akan menghasilkan proses yang baik dan akhirnya baik pula produkyang dihasilkan. Kelemahan paradigma pendidikan tersebut nampak jelas, yakni dunia pendidikan diperlakukan sebagai sistem yang bersifat mekanik yang perbaikannya bisa bersifat partial, bagian mana yang dianggap tidak baik. Sudah barang tentu asumsi tersebut jauh dari realitas dan salah. Implikasinya, sistem dan praktek pendidikan yang mendasarkan pada paradigma pendidikan yang keliru cenderung tidak akan sesuai dengan realitas. Paradigma pendidikan tersebut di atas tidak pernah melihat pendidikan sebagai suatu proses yang utuh dan bersifat organik yang merupakan bagian dari proses kehidupan masyarakat secara totalitas.

Kedua, para pengambil kebijakan pemerintah menjadikan pendidikan sebagai engine of growth, penggerak dan loko pembangunan. Sebagai penggerak pembangunan maka pendidikan harus mampu menghasilkan invention dan innovation, yang merupakan inti kekuatan pembangunan. Agar berhasil melaksanakan fungsinya, maka pendidikan harus diorganisir dalam suatu lembaga pendidikan formal sistem persekolahan, yang bersifat terpisah dan berada di atas dunia yang lain, khususnya dunia ekonomi. Bahkan pendidikan harus menjadi panutan dan penentu perkembangan dunia yang lain, khususnya, dan bukan sebaliknya perkembangan ekonomi menentukan perkembangan pendidikan. Dalam lembaga pendidikan formal inilah berbagai ide dan gagasan akan dikaji, berbagai teori akan dluji, berbagai teknik dan metode akan dikembangkan, dan tenaga kerja dengan berbagai jenis kemampuan akan dilatih.

Sesuai dengan peran pendidikan sebagai engine of growth, dan penentu bagi perkembangan masyarakat, maka bentuk sistem pendidikan yang paling tepat adalah single track dan diorganisir secara terpusat sehingga mudah diarahkan untuk kepentingan pembangunan nasional. Lewat jalur tunggal inilah lembaga pendidikan akan mampu menghasilkan berbagai tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Agar proses pendidikan efisien dan etektif, pendidikan harus disusun dalam struktur yang bersifat rigid, manajemen (bersifat sentralistis, kurikulum penuh dengan pengetahuan dan teori-teori (text bookish).

Namun, pengalaman selama ini menunjukkan, pendidikan nasional sistem persekolahan tidak bisa berperan sebagai penggerak dan loko pembangunan, bahkan Gass (1984) lewat tulisannya berjudul Education versus Qualifications menyatakan pendidikan telah menjadi penghambat pembangunan ekonomi dan teknologi, dengan munculnya berbagai kesenjangan: kultural, sosial, dan khususnya kesenjangan vokasional dalam bentuk melimpahnya pengangguran terdidik.

Berbagai problem pendidikan yang muncul tersebut di atas bersumber pada kelemahan pendidikan nasional sistem persekolahan yang sangat mendasar, sehingga tidak mungkin disempurnakan hanya lewat pembaharuan yang bersifat tambal sulam (Erratic). Pembaharuan pendidikan nasional sistem persekolahan yang mendasar dan menyeluruh harus dimulai dari mencari penjelasan baru atas paradigma peran pendidikan dalam pembangunan.

Penjelasan paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan yang diikuti oleh para penentu kebijakan kita dewasa ini memiliki kelemahan, baik teoritis maupun metodologis. Pertama, tidak dapat diketemukan secara tepat dan pasti bagaimana proses pendidikan menyumbang pada peningkatan kemampuan individu. Memang secara mudah dapat dikatakan bahwa pendidikan formal akan mengembangkan kemampuan yang diperlukan untuk memasuki sistem teknologi produksi yang semakin kompleks. Tetapi, dalam kenyataannya, kemampuan teknologis yang diterima dari lembaga pendidikan formal tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada. Di samping itu, adanya perubahan di bidang teknologi yang cepat, justru melahirkan apa yang disebut dengan de-skilled process, yakni dunia industri memerlukan tenaga kerja dengan keahlian yang lebih sederhana dengan jumlah tenaga kerja yang lebih sedikit.

Kedua, paradigma fungsional dan sosialisasi memiliki asumsi bahwa pendidikan sebagai penyebab dan pertumbuhan ekonomi sebagai akibat. Investasi di bidang pendidikan formal sistem persekolahan akan menentukan pembangunan ekonomi di masa mendatang. Tetapi realitas menunjukkan sebaliknya. Bukannya pendidikan muncul terlebih dahulu, kemudian akan muncul pembangunan ekonomi, melainkan bisa sebaliknya, tuntutan perluasan pendidikan terjadi sebagai akibat adanya pembangunan ekonomi dan politik. Dengan kata lain, pendidikan sistem persekolahan bukannya engine of growth, melainkan gerbong dalam pembangunan. Perkemkembangan pendidikan tergantung pada pembangunan ekonomi. Sebagai bukti, karena hasil pembangunan ekonomi tidak bisa dibagi secara merata, maka konsekuensinya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan tidak juga bisa sama di antara berbagai kelompok masyarakat, sebagaimana terjadi dewasa ini.

Ketiga, paradigma fungsional dan sosialisasi juga memiliki asumsi bahwa pendapatan individu mencerminkan produktivitas yang bersangkutan. Secara makro upah tenaga kerja erat kaitannya dengan produktivitas. Dalam realitas asumsi ini tidak pernah terbukti. Upah dan produktivitas tidak selalu sering. Implikasinya adalah bahwa kesimpulan kajian selama ini yang selalu menunjukkan bahwa economic rate of return dan pendidikan di negara kita adalah sangat tinggi, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan investasi di bidang lain, adalah tidak tepat, sehingga perlu dikaji kembali.

Keempat, paradigma sosialisasi hanya berhasil menjelaskan bahwa pendidikan memiliki peran mengembangkan kompetensi individual, tetapi gagal menjelaskan bagaimana pendidikan dapat meningkatkan kompetensi yang lebih tinggi untuk meningkatkan produktivitas. Secara riil pendidikan formal berhasil meningkatkan pengetahuan dan kemampuan individual yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi modern. Semakin lama waktu bersekolah semakin tinggi pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Namun, Randal Collins, lewat karyanya The Credential Society: An Historicaf Sosiology of Education and Stratification (1979) menentang tesis ini. Berbagai bukti tidak mendukung tesis atas tuntutan pendidikan untuk memegang suatu pekerjaan-pekerjaan tersebut. Pekerja dengan pendidikan formal yang lebih tinggi tidak harus diartikan memiliki produktivitas lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja .yang memiliki pendidikan lebih rendah. Banyak keterampilan dan keahlian yang justru dapat banyak diperoleh sambil menjalankan pekerjaan di dunia kerja formal. Dengan kata lain, tempat bekerja bisa berfungsi sebagai lembaga pendidikan yang lebih canggiH.

Rujukan. http://www.untag-sby.ac.id

PERANGKAT PENERBANGAN HEBAT PADA SERANGGA




Bagaimana seekor ganjurmampu mengepakkan sayapnya 1000 kali per detik? Bagaimana seekor kutu melompat sejauh ratusan kali ukuran tinggi tubuhnya? Mengapa seekor kupu-kupu terbang maju sementara sayapnya mengepak ke atas dan ke bawah?

Lalat adalah satu di antara hewan-hewan yang disebut di dalam Al Qur’an, sebagai satu saja dari banyak satwa yang mengungkap pengetahuan tak terbatas Tuhan kita. Allah Yang Mahakuasa berfirman tentang hal ini dalam ayat ke-73 surat Al Hajj:

Wahai manusia! Telah dibuat suatu perumpamaan. Maka dengarkanlah! Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, mereka tidak akan dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Sama lemahnya yang menyembah dan yang disembah. (QS. Al Hajj, 22:73)
Otot-otot penerbangan dari banyak serangga seperti capung mengerut sangat kuat akibat rangsangan yang ditimbulkan oleh saraf-saraf yang mengendalikan setiap gerakan mereka

Meskipun telah dilakukan penelitian terkini, walaupun seluruh teknologi telah Allah berikan kepada manusia, amat banyak ciri makhluk hidup yang masih menyimpan sisi-sisi menakjubkannya. Sebagaimana pada segala sesuatu yang telah Allah ciptakan, dalam tubuh seekor lalat memperlihatkan bukti melimpah pengetahuan mahatinggi. Dengan mengkaji seluk beluknya, siapa pun yang berpikir akan mampu sekali lagi merenung di atas kekagumannya yang mendalam kepada Allah dan ketaatan kepadaNya.

Sejumlah penelitian yang telah dilakukan para ilmuwan terhadap perangkat penerbangan lalat dan serangga-serangga kecil lainnya diuraikan di bawah ini. Kesimpulan yang muncul darinya adalah tiada kekuatan acak, coba-coba atau wujud selain Allah yang mampu menciptakan kerumitan seekor serangga sekalipun.

Otot terbang dari banyak serangga seperti belalang dan capung mengerut sangat kuat akibat rangsangan yang ditimbulkan saraf-saraf yang mengendalikan setiap gerakannya. Pada belalang, misalnya, sinyal-sinyal kiriman setiap saraf menyebabkan otot-otot terbang mengerut. Dengan bekerja bergantian, tidak saling berlawanan, dua kelompok otot yang saling melengkapi, yang dinamakan elevator (pengangkat) dan depresor (penurun), memungkinkan sayap-sayap terangkat dan mengepak ke bawah. Belalang mengepakkan sayapnya 12 hingga 15 kali per detik, dan agar dapat terbang serangga-serangga lebih kecil harus mengepakkan sayapnya lebih cepat lagi. Lebah madu, tawon dan lalat mengepakkan sayap 200 hingga 400 kali per detik, dan pada ganjur dan sejumlah serangga merugikan yang berukuran hanya 1 milimeter (0.03 inci), kecepatan ini meningkat ke angka mengejutkan 1000 kali per detik! Sayap-sayap yang mengepak terlalu cepat untuk dapat dilihat mata manusia telah diciptakan dengan rancangan khusus agar dapat melakukan kerja yang terus-menerus semacam ini.

Sebuah saraf mampu mengirim paling banyak 200 sinyal per detik. Lalu bagaimana seekor serangga kecil mampu mengepakkan sayapnya 1000 kali per detik? Penelitian telah membuktikan bahwa pada serangga-serangga ini, tidak terdapat hubungan satu-banding-satu antara sinyal dari saraf dan jumlah kepakan sayap per satuan waktu.

Pada perangkat istimewa ini, yang masing-masing diciptakan tersendiri pada tubuh setiap serangga, tak dijumpai ketidakteraturan sedikit pun. Saraf-sarafnya tidak pernah mengirim sinyal yang salah, dan otot-otot serangga senantiasa menerjemahkannya secara benar.

Pada jenis seperti lalat dan lebah, otot-otot yang memungkinkan terbang bahkan tidak menempel pada pangkal sayap! Sebaliknya, otot-otot ini melekat pada dada melalui pengait yang berperan seperti engsel, sedangkan otot-otot yang mengangkat sayap ke atas melekat pada permukaan atas dan bawah dada. Saat otot-otot ini mengerut, permukaan dada menjadi rata dan menarik pangkal sayap ke bawah. Permukaan samping sayap memberikan peran penyokong sehingga memungkinkan sayap-sayap terangkat. Otot-otot yang menimbulkan gerakan ke bawah tidak melekat langsung pada sayap, tapi bekerja di sepanjang dada. Ketika otot-otot ini mengerut, dada tertarik kembali ke arah berlawanan, dan dengan cara ini sayap tergerakkan ke bawah.

Engsel sayap tersusun atas protein khusus yang dikenal sebagai resilin, yang memiliki kelenturan luar biasa. Karena sifatnya jauh mengungguli karet alami ataupun buatan, para insinyur kimia berupaya membuat tiruan bahan ini, di laboratorium. Saat melentur dan mengerut, resilin mampu menyimpan hampir keseluruhan energi yang dikenakan padanya, dan ketika gaya yang menekannya dihilangkan, resilin mampu mengembalikan keseluruhan energi itu. Alhasil, daya guna (efisiensi) resilin dapat mencapai 96%. Saat sayap terangkat, sekitar 85% energi yang dikeluarkan disimpan untuk saat berikutnya; energi yang sama ini kemudian digunakan kembali dalam gerakan ke bawah yang memberikan daya angkat ke atas dan mendorong sang serangga ke depan. Permukaan dada dan ototnya telah diciptakan dengan rancangan istimewa untuk memungkinkan pengumpulan energi ini. Namun, energi tersebut sesungguhnya disimpan pada engsel yang terdiri atas resilin. Sudah pasti mustahil bagi seekor serangga, dengan usahanya sendiri, melengkapi diri sendiri dengan peralatan luar biasa untuk terbang. Kecerdasan dan kekuatan tak terhingga Allah telah menciptakan resilin istimewa ini pada tubuh serangga.
Lebah madu, tawon dan lalat mengepakkan sayap mereka 200 hingga 400 kali per detik.

Untuk penerbangan yang mulus, gerakan lurus ke atas dan ke bawah saja tidaklah cukup. Agar dapat memunculkan gaya angkat dan gaya dorong, sayap haruslah pula mengubah sudut gerakannya di setiap kepakan. Sayap-sayap serangga memiliki kelenturan berputar yang khas, tergantung jenisnya, yang dimungkinkan oleh apa yang disebut sebagai direct flight muscles (otot-terbang kemudi), disingkat DFM yang menghasilkan gaya-gaya yang diperlukan untuk terbang.

Ketika serangga berupaya naik lebih tinggi di udara, mereka memperbesar sudut sayap mereka dengan mengerutkan otot-otot di antara engsel-engsel sayap ini secara lebih kuat. Rekaman gambar berkecepatan-tinggi dan gerak-terhenti memperlihatkan bahwa selama terbang, sayap-sayap tersebut bergerak mengikuti lintasan lingkar-telur dan untuk setiap kali putaran sayap, sudutnya berubah secara teratur. Perubahan ini disebabkan pergerakan yang senantiasa berubah dari otot-terbang kemudi dan penempelan sayap pada tubuh.

Masalah terbesar yang dihadapi jenis serangga sangat mungil ketika terbang adalah hambatan udara. Bagi mereka, kerapatan udara sangat besar menjadi rintangan yang tidak bisa diremehkan. Selain itu, lapisan penghambat di sekeliling sayap menyebabkan udara melekat pada sayap dan mengurangi kedayagunaan (efisiensi) terbang. Agar dapat mengatasi hambatan udara ini, serangga-serangga seperti Forcipomya, yang lebar sayapnya tak lebih dari 1 milimeter, harus mengepakkan sayap 1000 kali per detik.

Para ilmuwan percaya bahwa secara teori, kecepatan ini pun tidaklah cukup menahan serangga-serangga ini tetap di udara, dan mereka pastilah menggunakan perangkat tambahan lainnya. Pada kenyataannya, Anarsia, sejenis serangga merugikan, menggunakan cara yang dikenal sebagai 'beat and shake' (mengepak dan menggoyang). Ketika sayap-sayapnya mencapai titik tertinggi dalam gerakannya ke atas, sayap-sayap ini saling mengepak dan kemudian membuka ke bawah kembali. Di saat sayap-sayap ini (dengan jaringan pembuluh darahnya) membuka, aliran udara depan membentuk pusaran mengitari sayap-sayap tersebut dan dengan kepakan sayap membantu daya angkat.

Banyak jenis serangga, termasuk belalang, memperhatikan apa yang ditangkap penglihatannya seperti garis kaki langit (horizon) untuk menentukan arah terbang dan tujuan akhirnya. Untuk mengokohkan keseimbangan kedudukannya, lalat telah diciptakan dengan rancangan yang lebih luar biasa lagi. Serangga-serangga ini memiliki hanya sepasang sayap, tapi di sisi belakang masing-masing sayap itu terdapat tonjolan melingkar yang dikenal sebagai halter (pengekang). Meskipun tidak menghasilkan gaya angkat, pengekang ini bergetar bersama sayap-sayap depan. Di saat serangga mengubah arah terbangnya, tonjolan sayap ini mencegahnya menyimpang dari jalur perjalanan.

Seluruh pengetahuan yang dipaparkan di sini dihasilkan dari penelitian terhadap kemahiran terbang tiga atau empat jenis serangga saja. Perlu diketahui bahwa keseluruhan jenis serangga di bumi berjumlah sekitar 10 juta. Dengan mempertimbangkan seluruh jutaan jenis selebihnya ini, beserta keistimewaan tak terhitung yang dimilikinya, seseorang pasti semakin bertambah kekagumannya akan kehebatan Allah yang tak terhingga.

Pemecahan Masalah bagi Gangguan Vena dari Gen Kutu

Para ilmuwan telah berhasil memisahkan gen resilin dari lalat buah dan berhasil membuat salinan protein ini secara alamiah dengan mencangkokkan gen tersebut ke dalam bakteri Escherichia coli.

Dalam penelitian yang dilakukan the Australian Commonwealth Scientific and Industrial Research Organization (CSIRO), (Organisasi Penelitian Ilmiah dan Industri Persemakmuran Australia), para ilmuwan yang berhasil menemukan gen yang menghasilkan resilin serangga juga menemukan polimer hebat yang mungkin berguna dalam penanganan penyakit pembuluh darah vena. Pengkajian yang berawal di tahun 1960-an, yang dipusatkan pada belalang dan capung padang pasir, merupakan pendorong kuat yang memajukan tahap terpenting ini.

Resilin, yang juga memberikan kutu kemampuan untuk membuat lompatan luar biasa, melengkapi belalang dan capung padang pasir, serta serangga lain keahlian bergerak yang mengejutkan. Berkat zat ini, kutu mampu melompat beratus-ratus kali tinggi tubuhnya sendiri dan sejumlah lalat dapat mengepakkan sayapnya lebih dari 200 kali per detik.
Untuk penerbangan yang mulus, gerakan sayap lurus ke atas dan ke bawah tidaklah cukup. Sayap mesti pula mengubah sudut gerakannya di setiap kepakan. Sayap-sayap serangga memiliki kelenturan-berputar yang istimewa yang diberikan oleh otot-otot pengendali penerbangan.

Protein yang diperoleh dari resilin jauh lebih baik dari produk karet berkualitas tertinggi dalam hal kemampuannya menahan tekanan dan kembali ke bentuk asalnya. Penelitian yang berkelanjutan tentang resilin tiruan menunjukkan bahwa protein tersebut tetap memiliki sifat-sifat ini.

Para ilmuwan menyatakan keyakinannya bahwa polimer yang didapatkan dari pencangkokkan gen-gen serangga dapat diterapkan di aneka bidang yang sangat beragam, dari kedokteran hingga industri. Namun, mungkin yang terpenting dari penerapan ini adalah penanganan penyakit pembuluh darah arteri pada manusia. Oleh karena resilin menyerupai protein elastin pada pembuluh vena manusia, para ilmuwan berharap bahwa penelitian mereka akan memberi vena kelenturan yang terbaharui.

Profesor asal Inggris Roger Greenhalgh menyatakan bahwa “Penelitian [terhadap resilin] tampaknya berada pada tahap paling awal, tapi jika kita dapat mengambil sesuatu yang bagus dari kelenturan kutu tersebut yang bermanfaat bagi manusia, hal itu akan sangat berkesan“1

Sumber : Harunyahya.com
Rujukan:

"Synthesis and properties of cross linked recombinant pro-resilin,"; by Christopher M. Elvin, Andrew G. Carr, Mickey G. Huson, Jane M. Maxwell, Roger D. Pearson, Tony Vuocolo, Nancy E. Liyou, Darren C. C. Wong, David J. Merritt and Nicholas E. Dixon, Nature 437, 999-1002 (13 October 2005) | doi: 10.1038/nature04085; "Flea protein may repair arteries" BBC News, October 12, 2005


KI HAJAR DWANTARA, BAPAK PENDIDIKAN INDONESIA






Pendiri Taman Siswa ini adalah Bapak Pendidikan Nasional. Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889. Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan). Ia meninggal dunia di Yogyakarta tanggal 28 April 1959 dan dimakamkan di sana.


Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.

Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.

Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.


Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka.


Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913. Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.

Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij ia pun ikut membentuk Komite Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite Boemipoetra itu melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.

Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker itu antara lain berbunyi:

"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu.

Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun".

Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering (hukum buang) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka.

Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil. Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela Soewardi. Tetapi pihak Belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan memberontak pada pemerinah kolonial. Akibatnya keduanya juga terkena hukuman internering. Douwes Dekker dibuang di Kupang dan Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda.

Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman.

Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte.
Kemudian ia kembali ke tanah air di tahun 1918. Di tanah air ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan.

Setelah pulang dari pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia pun mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.

Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian dicabut.

Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Tamansiswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.

Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur.

Setelah zaman kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957.

Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana.

Kemudian oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.

Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi. ► crs, dari berbagai sumber



*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Ind

Followers

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes